"Maaf ya Bi, nilai Fisika Teteh cuma **** koma *** puluh" Begitu kata anakku, Rabu malam kemarin. Via LINE ia kabarkan berita "duka" itu. Rupanya ia takut abinya marah. Sebelumnya, saat menerima raport Semester I ia kecewa berat karena hanya meraih ranking 6. "Masa' ranking 5 saja nggak nyampe?" begitu ia ungkapkan. Kalau sudah menetapkan target, memang ia akan kerahkan segala upaya untuk meraihnya. Sifat yang kuat di sisi "responsibility" sesuai hasil Talent Mapping memang benar-benar bekerja. Maka, saat tak sesuai target, ia akan disergap rasa kecewa yang berat.
Mungkin ada beban moral juga. Sebagai siswa penerima beasiswa terkadang ada tuntutan untuk tampil sempurna. Jadi multitalenta dan bintang di semua bidang. Di situ sering terjadi accident massal. Yaitu saat terjadi simplifikasi dengan menjadikan ranking dan nilai sebagai ukuran. Di mana manusia tiba-tiba direduksi nilainya jadi sekedar angka. Bukan dari portofolio karyanya.
Di sisi inilah saya harus menetralisir pandangan tersebut. Karena pandangan ini adalah racun yang sudah banyak merusak talenta-talenta terbaik anak bangsa ini sehingga layu, sakit dan mati. Tuntutan sempurna pada semua bidang dan penyeragaman standar penilaian adalah perusak masif bagi potensi unik yang seharusnya tumbuh dari diri setiap anak-anak itu.
Saya dari awal sudah mencemaskan hal ini. Apalagi talenta-nya banyak di sisi otak kanan. Bukan di sisi otak kiri yang terkait akademik, sains, logika, matematika dan bahasa yang dapat dibuat angkanya. Saya hanya berbekal keyakinan, bahwa ICM adalah sekolah yang baik. Pasti ia akan menjadi lahan subur bagi talenta-talenta unik semua anak yang bersekolah di sana.
Garansi pertama saya peroleh dari Kang Jusman Dalle, kalau potensi kekuatan menulis Fathia akan berkembang. Karena ia sendiri yang akan jadi mentor ekskul jurnalistik. Ia sendiri adalah maestro dalam bidang tulis-menulis yang sudah level nasional.
Akhirnya dengan segala pertimbangan, saya izinkan Fathia menerima tawaran beasiswa dengan tiket buku "Breaking The Limit" yang baru saja terbit. Bagaimanapun, ini sesuatu yang amazing. Saya bahkan menyebutnya sebagai "keajaiban kecil" ketika sebuah institusi sekaliber ICM memberi fasilitas beasiswa bukan mempertimbangkan aspek akademik, tapi karena sebuah karya.
Dalam perjalanannya di ICM, Fathia memang benar-benar menemukan surga belajar, di samping surga fasilitas yang serba lengkap. Segala aktivitas ia ikuti. Seperti anak lapar dipersilakan ke tempat prasmanan. Ikut jurnalistik, green community, ikut tahfidz, jadi panitia Tzorfas, menggawangi Bulletin Sekolah, ikut OSIS, jadi utusan sekolah, guider saat Open Day. Juga sempat-sempatnya menjadi pembicara di forum rohis se Jawa Barat di Salman ITB. Artinya, talentanya benar-benar terfasilitasi. Bakat terkuatnya yaitu WOO (Winning other offer), Ideation, Futuristic, Command, Input, Communication, dan Responsibility menemukan lahan subur di ICM.
Karenanya saat pembagian raport UTS, Raport Semester atau saat Kenaikan Kelas justru saat-saat yang menegangkan dan membuat was was. Karena ia akan menerima penilaian berupa angka.
Saya sendiri memang sudah menduga kalau nilai akademik berpotensi tidak maksimal hasilnya kalau Fathia fokus pada penyaluran bakat. Walaupun ada bakat "Input" yang membuatnya senang mengumpulkan banyak informasi, tetapi kelemahan pada fokus berpotensi membuat "kesalahan-kesalahan kecil" saat mengerjakan soal. Padahal dalam matematika, fisika dan kimia, kesalahan kecil fatal akibatnya.
Raport Semester I adalah buktinya. Nilai fisika UTS semester II juga menguatkan, walaupun nilai pelajaran lain katanya banyak yang meningkat. Tapi nilai turun di salah satu pelajaran seringkali itu yang disorot. Baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain, termasuk guru dan sekolah. Jadinya saya harus menyiapkan kalimat-kalimat penetral untuk menenangkan hati yang galau Si Anak obsesif ini.
Lagipula, hanya manusia extra ordinary yang bisa excellence di banyak bidang. Itupun amat-amat sedikit sekali jumlahnya. Sebagai seorang yang diri sendiri juga bukan manusia extra ordinary, menuntut anak sempurna di banyak hal adalah sebuah kezaliman dan tak tahu diri seorang ortu. Anehnya mayoritas para ortu dan hampir semua sekolah menetapkan standar ini untuk semua anak. Akibatnya, alih-alih jadi anak multi talenta, justru terlalu banyak anak yang tidak jadi siapa-siapa. Tidak jadi apa-apa.
Mengacu pada potensinya, saya memang lebih bahagia saat ia tampil mempresentasikan program Tzorfas di Prasetya Mulya Business School. Saat ia tampil di Salman ITB di hadapan kakak kelas dan mahasiswa berbicara tentang "kembali ke masjid". Saat tulisan di blognya tayang di sela-sela libur akhir pekan. Saat berani berkomunikasi dengan pihak perusahan guna mencari sponsor program Tzorfas. Saat bulletin YES yang ia gawangi sebagai script-writer terbit tiap tiga bulan. Saat ia mentargetkan dua buku terbit selama ICM. Karena saat-saat itu ia sedang mensyukuri talenta yang Allah berikan.
Tetapi memang, saat berbagai amanah itu ia emban, banyak aktivitas non akademik ia kerjakan, dan membuat nilai akademik jadi korban, itulah harga menjadi diri sendiri.
Buat Fathia,
Abi berharap tetaplah jadi dirimu ya,
be yourself!
Abi tidak menuntutmu jadi manusia super yang serba bisa. Just enjoy your journey with ICM!
Friday, March 13, 2015
Subscribe to:
Posts (Atom)
KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN
Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...
-
Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...
-
Sejak akhir Maret 2020 di lingkungan RT sudah berlangsung kegiatan jimpitan. Menabung beras dan uang untuk membantu keluarga terdampak Covid...
-
"𝑀𝑜𝑚𝑒𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑛𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑘𝑒 𝑛𝑒𝑔𝑒𝑟𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖...