sumber : internet |
Sabtu, 14 Juni 2014.
Hari Sabtu ini memang agak tegang. Tetapi istimewa. Hari
ini adalah hari kelulusan SMP. Sekalian mendapatkan hasil
angka UN-nya berapa. Pengumumannya siang hari, ba’da dzuhur. Namun sekitar
pukul 10 sudah dapat bocoran via social media….. dan Fathia dinyatakan LULUS!
Alhamdulillah. Lebih berbahagia lagi karena ternyata anak-anak SAKA (Sekolah Alam Karawang) angkatan tahun ini
LULUS SEMUA! Termasuk anak-anak yang special
need. Ini yang membuat Fathia
menangis tak tertahankan. Kamipun ikut terharu. Karena sedikit banyak tahu
cerita tentang teman-teman Fathia yang istimewa itu. Memang kondisi ini membuat agak cemas. Bagaimana anak-anak istimewa itu mengejar
standar kelulusan yang berpatokan pada anak-anak yang normal. Saya juga tidak
membayangkan bagaimana kecemasan orang tua mereka. Bersyukur, ternyata kecemasan itu tidak
terbukti.
Siangnya, setelah Fathia kembali dari sekolah saya mendapat amplop
putih berlogo SAKA. Isinya angka UN. Alhamdulillah angka yang menggembirakan : 28,95. Walaupun sejak awal
saya sendiri tidak mentarget secara streng
Fathia harus dapat angka berapa. Saya bahkan menulis khusus tentang ini. Bahwa
UN bukan segalanya. Sayapun sudah memberikan “toleransi” kalau kemudian nilai
UN-nya hanya mengantarkan Fathia ke SMA kecamatan. Bukan SMA Favorit di kota
Karawang. Karena sekolah favorit juga bukan segalanya. Justru capaian
kompetensi riil dan kemandirian belajar itu yang harus lebih dilihat. Lebih melihat aspek kemandirian, percaya diri,
disiplin, hormat ke orang tua. Empati kepada sesama, mampu bekerja dalam
teamwork, mampu memecahkan masalah, mampu memimpin, wawasan yang luas, kritis
dan analitis. Dibanding memakai angka-angka raport dan hasil test akademik.
Nah, ketika nilai UN Fathia juga bagus (nomor dua terbesar setelah Miftah), saya jadi bertambah surprise.
SAKA memang sejak awal memilih untuk berbeda. Seperti tidak terpaku terhadap penggunaan angka sebagai
tolok ukur penilaian pendidikan. Karena angka UN dan raport memang sudah jadi berhala pendidikan kita.
Manusia dipaksa diukur dengan angka. Tak lebih dari sepotong kayu yang bisa diukur
penggaris.
Walaupun begitu, tetap saja angka UN punya makna special.
Hanya maknanya berbeda dengan dahulu saya memandang. Kenapa? Karena anak-anak SAKA itu sebenarnya selama ini agak
berkelit dari panduan kurikulum.
Kesesuaian dengan kurikulum lebih ke performance administrasi. Karena faktanya, selama dua tahun pertama
mereka di SMP itu praktis bebas merdeka.
Mereka lebih suka camping ke
gunung dan live in. Anak-anak Alam
itu lebih banyak bermainnya daripada berkutat dengan angka dan teori sesuai
panduan. Mereka lebih suka outbond, outing class, atau backpacker. Lebih suka menjelajah alam daripada
berkutat dengan teori. Barulah saat
kelas IX mereka tampil agak mirip
anak-anak SMP lainnya. Mereka mengerjakan soal-soal ujian dan try out. Berburu soal di internet dan
toko buku. Tapi tetap saja, anak-anak alam itu masih sempat camping
dan jalan-jalan keluar kota juga. Tetapi toh mereka tetap lulus juga. Melihat fakta ini, barangkali lebih tepat
disebut sebagai “pencapaian target kurikulum dengan cara yang berbeda”.
Sejak awalpun saya
menduga akan berlangsung seperti itu. SAKA memakai tafsir “jalan lain” dalam proses
pembelajarannya. Karena kalau hanya untuk lulus UN ternyata
cukuplah ikut bimbel. Bahkan ada Lembaga Bimbel yang berani menjamin lulus bagi
pesertanya. Anak-anak homeschooling
juga belajar untuk ujian ya hanya waktu mau ujian kesetaraan. Selebihnya mereka
belajar sesuai minat. Lalu buat apa
waktu-waktu yang terbentang tiga tahun di sekolah kalau hanya untuk mengejar
lulus UN, kalau ternyata dengan ikut bimbel saja sudah cukup? Sebuah fakta yang patut direnungkan.
Maka kelulusan anak-anak SAKA itu seolah membawa pesan.
Jangan ragu untuk berbeda, kalau itu diyakini berangkat dari keyakinan. Mereka memang tidak ikut mainstream. Ketika siswa di sekolah lain belajar di gedung mereka lesehan di
lantai saung. Kadang lebih memilih melingkar dibawah pohon. Seperti mentoring
anak-anak remaja masjid. Ketika kerap
muncul istilah guru killer karena
begitu superior-nya guru dihadapan murid, di SAKA posisi
murid dan guru terlihat egaliter. Selebihnya
mereka merayakan kemerdekaan belajarnya. Suka cita mengeksplore siapa dirinya.
Sehingga menemukan siapa
dirinya. Dimana mereka bisa maksimal menunjukkan eksistensi. Di bidang apa
mereka paling enjoy menjalani. Karena
setiap individu adalah limited edition.
Tidak ada yang sama.
Dengan demikian sekolah hanya memfasilitasi tumbuh kembang
talenta anak-anak SAKA itu. Salah satunya dengan mengadakan Talent Mapping (TM). Test ini lebih komprehensif dibanding
test IQ. Karena bisa memetakan potensi unggul setiap anak. Walaupun sayang, TM dilakukan di tengah jalan.
Untungnya anak saya Fathia sudah lebih dulu
menekuni bidang yang menurut hasil TM memang menjadi keunggulannya : Jurnalistik, komunikasi,
Juru Kampanye, Sales. Fathia sudah lebih
dulu menekuni dunia literasi, yaitu
menulis di blog, magang sebagai jurnalis dan menerbitkan buku. TM praktis hanya
mengkonfirmasikan bahwa upaya Fathia memang sudah on the right track. Belakangan juga terbukti kalau karya Fathia di dunia
literasi justru lebih menentukan
kelanjutan pendidikannya paska SMP. Fathia sudah positif diterima di Insan Cendekia
Madani, boarding school impian dengan beasiswa full karena karya
literasinya itu, bukan dari nilai UN. Bahkan kepastiannya sudah diperoleh
sebelum hasil UN diumumkan.
Selain Fathia, anak-anak SAKA yang sudah di posisi SMA
impiannya diantaranya adalah Lukman yang seniman dan hafalan Qur’an-nya banyak
itu sudah standby di Ponpes Husnul
Khotimah, Kuningan. Saya yakin Ustadz Uus, ayahandanya bangga benar dengan
prestasi Lukman. Ustadz Uus memang ingin anaknya jadi da’i. Andhika yang mantan Ketua OSAKA juga kabarnya
sudah mengambil satu kursi di Al-Ilham
boarding school di Bandung. Adapun Puput sudah duluan boyongan ke
Tasikmalaya. Kalau Miftah dan Naufal,
sepertinya masih harus muter-muter dulu memilih sekolah yang disukai. Nilai UN-nya memang apa adanya dan tanpa intervensi. Sepertinya akan sulit masuk ke SMAN negeri favorit. Kalau Laras yang hoby fotografi sudah
memilih SMK. Yang saya belum tahu kabar Bagoes, anak istimewa yang tiap hari
pulang-pergi Cibitung Karawang itu. Sepertinya belum ada SMA yang ramah
menerima anak istimewa seperti Bagoes.
Terakhir, the last
but not least, selamat buat
guru-guru SAKA, yang berhasil mengawal anak-anak pelangi itu menuju satu
pencapaian yang menakjubkan. Saya jadi teringat nama-nama guru SM SAKA. Ada Bu
Aisyah Purnamawati, Brother Ridwan, Bu Raihanah, Bu Oyoy, Bu Puroh, Kang Deni
Darmayana, Bu Wangsih, Pak Azis, Pak Imam, Pak Ari, Bu Ema, Pak Jay, Pak Shena,
Pak Jalal, Bu Tini. Juga Sang Guru sekaligus mentor Fathia, Bu Hasri Ainun. Tak berlebihan kalau saya
mengatakan bahwa : SAKA memang JUARA, tapi guru-gurunya LUAR BIASA!
Semoga Allah memberkahi kita semua… Amiiin…