Hari Sabtu kemarin,22 Juni 2013. Imad, anak kedua saya lulus
SD. Satu fase pendidikan formal sudah dilalui. Bagi yang menghadiri
acara kemarin itu, pasti sepakat dengan saya : penyelenggaraanya amat
megahnya. Meriah. Tempatnya di Rumah Makan paling top se Karawang : Indo
Alam Sari. Untuk acara setingkat SD, acara kemarin itu menurut saya
memang istimewa. Acara ini kembali jadi ajang pembuktian para gurunya.
Sebagai event organizer, guru-guru SDIT Harapan Ummah memang sudah
berpengalaman dari tahun ke tahun. Dua tahun sebelumnya, penyelenggaraan
dilangsungkan di Gedung Aula Husni Hamid. Komplek Pemda Karawang.
Beberapa sekolah swasta seperti Al Irsyad memang kadang memakai gedung
di luar sekolah untuk penyelenggaraan acara akhir tahun. Saya tidak tahu
apakah sekolah negeri ada yang menyelenggarakan acaranya
digedung-gedung itu atau hanya di sekolahnya saja.
Saya
kebetulan datang sendirian. Nyonya menghadiri acara kenaikan kelas
Fathia dan Dhiya, kakak dan adiknya Imad. Fathia an Dhiya, kebetulan
bersekolah di SAKA, Sekolah Alam Karawang. Lokasinya lebih dekat ke
rumah. Saya memang tidak ingin melewatkan momentum Imad ini. Karena
seorang ayah adalah pemimpin dan pendidik utama di rumah. Rasanya yang
lebih berkepentingan hadir. Walaupun lebih bagus kalau bareng Nyonya.
Kalau
berkaca ke waktu saya SD dulu, sebuah SD Negeri di pedesaan di lereng
gunung Ciremai, kelulusan itu biasanya sederhana saja. Waktu itu hanya
diisi sambutan kepala sekolah. Pentas seni belum dimunculkan sebagai
bentuk penyaluran bakat dan kreativitas anak-anak. Akhirnya memang jadi
garing. Lulus, ya lulus saja. Baru bertemu pentas seni saat kelulusan
yaitu saat SMP. Untungnya, waktu itu fokus di belajar, sehingga lulus
dari SD bisa bersaing menembus SMP2 Kuningan. Salah satu sekolah
favorit.
Di SD Harapan Ummah, momen kelulusan seperti
dibuat agar tak terlupakan. Siswa yang lulus, diberi julukan wisudawan.
Mereka berseragam khusus batik hijau. Piala-piala berhamburan
menghampiri siswa-siswi yang berprestasi. Atraksi seni diiringi
lagu-lagu penghargaan terhadap guru dan semangat untuk menang. Lagu
“We Are The Champion” berkali-kali meluncur dari
soundsystem berkekuatan besar.
Walaupun
ada tanya, kenapa masih ada juara 1-3 pada setiap kelasnya? Saya sih
inginnya bukan atas dasar hasil ujian tertulis dan tidak ada istilah
“siswa terbaik”. Karena semua siswa adalah ciptaan terbaik dari Sang
Khaliq. Sebenarnya bisa memakai pendekatan kecerdasan majemuk. Bahwa
setiap anak adalah juara. Sehingga setiap anak diberi
sertifikat penghargaan sebagai juara dalam keunggulan masing-masing.
Acara
kemarin itu menjadi lama. Hingga melewati jam 1 siang. Karena semua
anak kelas 1 sampai 6 sepertinya semua harus tampil di panggung.
Membawakan pentas seni yang kebanyakan dilakukan secara rame-rame.
Memang pintar sekali guru-gurunya dalam memanfaatkan momen sebagai
sarana pembelajaan. Saya yakin saat pentas itu kepercayaan diri anak
meningkat. Walaupun hanya menari-nari sederhana. Momen tampil di
panggung dalam kebersamaan memang punya efek lain. Memberikan pengalaman
yang akan sangat berkesan.
Kemarin itu Imad tidak
tampil seperti tahun-tampil sebelumnya. Biasanya atraksi karate yang
pake acara memecahkan batu-bata atau genteng. Kemarin Imad hanya tampil
dalam drama Malin Kundang. Sebagai temannya si Malin saat melaut.
Kemudian di tengah laut diserang bajak laut hingga jadi korban. Yang
selamat tinggal Si Malin sendiri. Sudah, setelah itu Imad tidak tampil
lagi. Walau begitu, persiapannya perlu berhari-hari.
Bagi
saya, panitia dan para guru memang menjadi bintang acara itu.
Kepompakan dan kreativitas tim bisa dilihat dari semua sisi. Itu karena
SDM-nya memang ideal. Salah satunya, di situ ada Pak Dika Pratama, Ketua
FLP Karawang. Guru-guru lainnya adalah para aktivis dakwah yang sudah
terbiasa membimbing ummat.
Mereka masih muda-muda.
Lebih muda usianya dari saya. Semangatnya tentu meluap-luap. Usia muda
ditambah semangat dan kreativitas plus kasih sayang adalah sosok ideal
seorang guru. Karena itu, saat saya ditanya anak pertama saya, kenapa
menyekolahkan d iswasta yang relatif mahal. Jawaban saya adalah karena
gurunya adalah guru yang penyayang. Titik. Maka saat menitipkan
anak-anak selama di sekolah itu saya merasa tak ada kekhawatiran
sedikitpun. Justru saat liburlah saya suka khawatir. Karena saat libur
panjang, Imad pernah “hilang”. Ternyata sedang asyik main game online.
Sekolah
juga penuh tanggung jawab. Saat Imad mengalami kecelakaan saat main
futsal di sekolah. Sehingga jari salah satu jari kaki kirinya terkilir
dan terjadi dislokasi sendi. Biaya ke tukang urut ditanggung sekolah.
“Memang itu tanggung jawab kami Pak, kalau kecelakaannya terjadi di
sekolah”, Kata Pak Atar, kepala Sekolah.
Kenapa ada air mata?
Imad
kecil adalah Imad yang punya masalah dengan kesehatannya. Dulu, ia
punya asma yang kambuhan. Rentan debu. Rentan makanan pemanis buatan.
Apalagi ada pengawetnya. Makanya, kami sebagai ortu harus ekstra
mengawasi makanannya. Waktu di Jember dulu, sebelum usia masuk sekolah,
setiap bulan Imad mesti kambuh asmanya. Berobatnya harus ke rumah
sakit. Karena harus ditangani dokter spesialis. Dokter umum sudah tidak
mempan.
Menurut dokter, satu-satunya yang
bisa melawan asma adalah kondisi fisik Imad harus fit. Maka saya
usahakan Imad senang olah raga. Apapun saya silakan Imad untuk ikut
olahraga. Maka saat ingin ikut karate, saya persilakan, alhamdulillah hingga
sabuk coklat. Main bolanya saya biarkan sampai jadi hobi. Sekarang,
Imad bahkan sudah bisa meluncur di papan skateboard. Renangnya juga
lebih bagus dari saya. Saya mah belum bisa ngambang di kolam tiga meter.
Untuk
akademik memang saya tidak begitu memaksakan. Saat sepuluh menit baca
buku saat malam hari, Imad serangkali sudah terpejam matanya. Sepertinya
efek capek aktifitas fisik. Belajarnyapun harus ditongkrongi.
Perjuangan mengantarkan Imad hingga lulus SD, memang lebih unik di
banding Si Teteh, kakaknya. Tapi menurut saya, itu lebih karena
penghargaan terhadapak ademik di budaya sekolah kita masih dominan.
SDIT Harum untungnya sudah mulai memberikan penghargaan kepada semua
kompetensi. Dengan menyediakan fasilitas pembelajaran yang membuat
bakat-bakat siswa tersalurkan dengan baik.
Imad kini
semakin sholeh. Sangat penurut kalau diminta bantuan Abi Uminya. Tidak
mengalami kenakalan yang tidak perlu dan over dosis. Shalat berjamaahnya
semakin rajin. Sosialisasinya juga bagus. Setiap malam Jumat, selalu
ikut Yasinan di Masjid kompleks. Katanya, “karena ada makan-makannya” he
he
Memori mendampinya Imad yang kaya warna itulah yang
membuat air mata berkali-kalii mengucur saat prosesi wisuda. Saya
seperti orang yang cengeng banget kemarin itu. Apalagi saat melihat Imad
yang juga menangis di panggung. Imad memang sensitif perasaannya.
Ditambah, saat orang tua yang lain beberapa terlihat juga yang mberebes
air matanya. Tapi, koq kebanyakan ibu-ibu ya yang menangis? Tapi,
biarlah air mata ini mengalir sesukanya. Saya ingin melewatinya dengan
segala perasaan.
Saya juga ada perasaan bersalah karena
telah memaksa Imad untuk ikut test di Husnul Khotimah, Ponpes favorit
di Kuningan. Padahal budaya akademik di sana saya perkirakan kurang
cocok untuk Imad. Akibatnya, Imad punya pengalaman tidak lulus seleksi
yang mungkin akan dikenang sebagai pengalaman buruk. Mudah-mudahan Imad
tidak menyalahkan Abi dan Uminya. Itu hanya karena Abi Umi ingin
memberikan yang terbaik. Walau kadang terbaik menurut orang tua, belum
tentu baik bagi anak.
Sekarang Imad sedang bersiap
memasuki sekolah barunya, di pondok Tahfidz, SMP Qur’an Al
HasanatBoarding School di Cikampek. Saya memang tidak melilih tempat
yang terlalu jauhdari rumah. Masih ada kekhawatiran kalau asmanya
kambuh. Agar saya bisa segera meluncur ke Cikampek kalau ada apa-apa.
Kenapa
saya memilihkan pondok tahfidz? Saya ingin Imad fokus ke menghafal
Qur’an. Fokus di situ. Menghabiskan masa SMP dengan mengejar hafalan 30
juz Al Quran . Harapannya, kelak Imadlah yang bimbing Abi, Umi serta
Sadauara-Saudara Imad dengan Al Qur’an yang sudah tersimpan di kepala.
Mengingatkan kalau salah, memberi contoh terbaik bagaimana jadi ahlul
Qur’an. Semoga Allah mudahkanmu, Anakku. Doakan kelimpahan rizki dari
Allah untk kita dan mereka yang sedang menuntut ilmu.
Sekali
lagi, saya sampaikan apresiasi yang sungguh tinggi kepada segenap
guru-guru dan management SDIT Harapan Ummah Karawang. Sungguh,
pengalaman Imad dan teman-temannya akan menjadi fondasi bagi pembentukan
kepribadiannya kelak.
Karawang, 24 Juni 2013
NB
Saat
pulang, saya dikabari kalau Fathia dapat penghargaan sekolah karena 100
tulisannya di blog. Sedangkan Dhiya nilai raportnya bagus-bagus.
ALhamdulillah...