Rabu pagi 02 Juli 2014 kemarin, saat jarum jam
tepat di posisi 09.30, di ujung gang Haji Amat,
Jl Ciater Raya, Serpong, Tangerang Selatan, mata saya kembali berpapasan
dengan deretan huruf besar terbuat dari
bahan logam yang memantulkan kesan megah. Di situ juga logo cantik ikut
terpasang. Logo yang dibuat serius dan mengandung filosofi. Paduan logo dan
tulisan “INSAN CENDEKIA MADANI” adalah yang pertama kali menyapa sebelum
memasuki pintu gerbang komplek sekolah yang megah ini. Sebuah boarding school
dengan fasilitas lengkap yang berlokasi
tak jauh dari kampus STAN tempat saya dulu kuliah. Ini kali keempat mengunjungi
ICM, setelah sebelumnya proses pendaftaran, test dan daftar ulang.
Hari pertama berseragam ICM |
Hari Rabu kemarin itu Fathia resmi memulai
statusnya sebagai siswi SMA. Memulai MOS selama empat hari. Secara simbolis orang tua juga sudah menyerahkan pengasuhan
kepada pihak sekolah. ICM memang bagi kami adalah boarding school impian. Impian di sini bukan karena diimpikan dari
awal, tapi ini karena memang seperti mimpi. Bahkan sampai saat saya menulis
inipun masih seperti sedang bermimpi. Karena sebelumnya tidak pernah berfikir
untuk menyekolahkannya di sini. Tahu
nama saja karena ada yang menawarkan beasiswa.
Allah memang Maha Kuasa atas
hamba-Nya. Apapun bisa terjadi. Bahkan bagi saya, seperti berlebihan Allah memberi anugerah
ini. Kadang saya merasa agak takut juga. Khawatir tidak bisa bersyukur. Karena
datangnya benar benar min haisu laa yahtasib! Dari jalan yang tidak disangka. Hanya
dari wasilah sebuah buku BREAKING THE LIMIT dan kumpulan tulisan di blog, tiket
masuk ke surga belajar bernama Insan Cendekia Madani diperoleh Fathia secara
cuma-cuma. Cuma-cumanya juga beneran,
bukan pencitraan, bukan sekedar marketing gimmick. Apalagi PHP. Fathia memang menerima fasilitas beasiswa full dari Tali Foundation.
Maka, beberapa hari terakhir kemarin,
Fathia-pun sibuk persiapan masuk sekolah barunya itu. Menjahitkan baju seragam
hingga berburu jersey negara peserta
Piala Dunia 2014. Saya jadi teringat dengan suasana yang tidak beda dengan
adiknya yang sudah duluan ber-boarding ria di sekolah pondok Tahfidh di
Jatisari, ujung timur Karawang. Rasanya, ia seperti “kualat” termakan
candaannya pada sang adik. Suka menggoda anak boarding sih. Jadinya masuk
boarding betulan, he he. Padahal SMAN yang ditarget sebenarnya bisa diraih
dengan nilai UN yang tempo hari diraih. Namun, Allah membelokannya jauh ke
barat, hingga melewati ibukota, kemudian hinggap di ICM, Serpong. Kalau
dihitung ICM ini adalah sekolah ke-8
yang disinggahi Fathia. Efek abinya yang nomaden, jadinya sekolah anak-anak
ikut nomaden juga.
Menyekolahkan anak memang selalu jadi
isu krusial sejak diamanahi jadi orang tua. Kadang emosional juga. Terutama
saat menentukan sekolah pilihan dan faktor biaya. Apalagi diamanahi dalam
jumlah banyak, lima. Tentu memerlukan pemikiran yang tidak sederhana. Di
samping mengawal proses pendidikannya. Termasuk memilih sekolah, juga mengelola anggarannya. Memang berbeda
dengan orang tua saya yang relatif tidak menemukan problem yang terlalu kompleks ketika menyekolahkan saya dan lima saudara
saya. Kecuali persoalan biaya saat menyekolahkan dan menguliahkan empat adik
saya.
Sekarang semuanya menjadi berbeda
ketika kita memahami lebih dalam tema pendidikan dan mencermati dinamikanya.
Maka tiba-tiba ada banyak masalah terpampang di depan mata. Ternyata masalahnya
tak sekedar biaya sekolah. Kita para orang tua juga harus mengkritisi mutu
sekolah dan lingkungan pergaulan. Sekolah kini tidak lagi tempat suci yang
steril dari masalah. Bahkan diantaranya jadi sumber masalah. Banyak orang tua
yang kehilangan anaknya justru di sekolah atau karena pergaulan saat sekolah.
Baik kehilangan moralitas, kehormatan, bahkan nyawa.
Barangkali itulah sebab menjamurnya sekolah alternatif non-negeri yang
dikelola masyarakat yang kemudian lebih dilirik. Bahkan diantaranya jadi favorit siswa dan ortu.
Walaupun sebenarnya sejak jaman dahulu, masyarakat sebenarnya sudah terbiasa
mengelola pendidikan sendiri, pesantren misalnya. Masalahnya, karena melibatkan
masyarakat berlakulah hukum pasar : penawaran dan permintaan. Sekolah Terpadu,
Boarding School, Labschool, Internat, Unggulan terbukti semakin banyak mengiringi nama
sekolah. Walaupun berbiaya relative tinggi. Karena program pendidikannya yang dibiayai
sendiri. Ini memang buah dari produk birokrasi pendidikan sendiri yang belum
bisa menjamin kualitas pendidikan. Juga tidak menjamin keselamatan anak-anak
didiknya. Sehingga, walapun berbiaya mahal. Walau biaya selangit. Para ortu
tetap berburu sekolah-sekolah itu. Itulah sepertinya alasan terbesar yang
terungkap dari para orang tua yang menyekolahkan anaknya di ICM. Mereka para
orang tua dari kalangan menengah atas yang tidak lagi berhitung biaya.
Fathia mungkin bagian dari anak-anak yang
beruntung yang bisa menjalani pendidikan dengan bahagia ketika berada di
sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terbaik. Di SMP Alam ia bisa
berbahagia menjalani proses hingga terbangun karakternya dan menghasilkan
produk yang bisa diterima masyarakat.
Karyanya berupa buku dan tulisan
itu pula yang kemudian menjadi tiket untuk masuk ke SMA tanpa harus mengeluarkan biaya.
Tanpa harus saling jegal dengan teman-temannya. Sekarang ia memulai perjalanan baru. Berangkat
dari keluarga kebanyakan level perumnas, ia kini menjadi siswa di sekolah megah
dengan fasilitas amat lengkap. Berbaur bersama anak-anak yang tumbuh dalam
kelimpahan materi.
Sebagai kompensasi dari fasilitas
beasiswa yang didapat, ia mendapat misi khusus dari pihak sekolah: menjadi
contoh bagi teman-temannya. Ia mendapat mandat untuk menjalankan fungsi ing madyo mangun karso. Sebuah misi yang
cukup menantang memang. Karena ia harus mampu menjadi model dan motor penggerak
bagi teman-temannya sendiri. Bagi Fathia, jelas ini sebuah pembelajaran
tersendiri. Mungkin ini yang dimaksud dengan learning by chalange. Tetapi saya yakin, walaupun ada misi seperti itu,
ia akan tetap jadi dirinya. Karena ia sudah
mengenal siapa dirinya. Sudah tahu di mana letak kekuatannya.
Untuk kesekian kalinya saya mendapati
efek positif dari pendidikan yang memerdekakan. Dimana prosesnya saling
bersinergi antara sekolah dan orang tua. Ketika kita sudah bisa mengenal
potensi anak, kemudian menjalankan proses pendidikan dengan memerhatikan
potensi unggulnya itu. Banyak keajaiban kecil nan menakjubkan dari pencapaian-pencapaiannya
selama proses belajarnya itu. Menjadikan proses mendampingi belajar anak-anak menjadi pengalaman hidup yang sangat
mengesankan.
Namun, semua itu tetap ada pengorbanannya,
dengan Fathia jadi anak boarding, kami jadi “kehilangan” dua anak setelah Imad,
adiknya, masuk pondok setahun lalu. Jadinya yang tersisa adalah tiga prajurit
kecil. Saya seperti kembali ke suasana saat
memulai jadi urang Karawang tahun 2006 dulu. Mungkin ada hikmahnya, sebagai
ortu kami sekarang lebih focus mendampingi Dhiya, Uki dan Naf. Semoga Allah
memudahkan langkah kami dan para ortu yang sedang menjalankan amanah pengasuhan
pada putra putrinya…Aamiin.