Seorang kawan ditanya Murobinya : "Apa yang membuat Antum bertahan di majelis halaqah ini?". Jawaban kawan saya cukup mengejutkan: "Saya hanya ingin kumpul-kumpul saja, Tadz. Karena kalau sendirian kemungkinan saya akan terbawa pengaruh buruk teman-teman saya di luar"
"Hanya
sekedar kumpul-kumpul saja?" Sang Muroby bertanya ingin penegasan.
"Ya,
hanya untuk kumpul-kumpul saja" Jawaban kawan saya tetap pada redaksi
awal.
"Selain
itu, apa yang Antum peroleh dari halaqah ini?"
"Tidak
ada yang baru, Tadz. Materi-materi yang dibahas sudah saya fahami semua.
Apalagi ada internet, tinggal googling"
Ya, betapa
banyak halaqah yang kehilangan gairah. Ada yang mengatasinya dengan sering-sering rihlah ke luar
kota. Ada juga yang dengan rutin
jelajah tempat kuliner. Para Murobi sudah lama kehabisan materi. Hanya
mengulang-ngulang materi yang sudah lama. Membuat materi baru, merasa tidak kapasitas.
Memang sudah
ada pelatihan penyegaran untuk para murobi. Agar halaqah kembali kondusif
(hadiinah). Agar halaqah kembali efektif (fa'aalah), agar halaqah kembali
produktif (muntijah). Tetapi rupanya belum juga memenuhi harapan.
Halaqah-halaqah itu tetap saja kering.
Lalu apa lagi upaya yang harus dilakukan???
Di sini saya
ajukan solusi mendasar, agar kita kembali bergairah. Agar kembali kondusif, efektif dan produktif. Solusinya adalah MERUBAH
SUDUT PANDANG. Bukan sekedar penyegaran atau pelatihan. Ibarat seni
fotografi, kehebatan hasil foto berawal dari mengambil posisi pengambilan foto
yang pas. Walaupun objeknya sama,
kameranya sama, fotografernya sama. Hasilnya bisa berbeda. Yang satu
mahakarya, satunya lagi hanya
selembar kertas biasa. Bisa juga berarti merubah persepsi. Seperti gambar di atas, ketika gambar diputar, maka persepsi kita menjadi berubah sama sekali, bukan?
Apakah dalam hal pemahaman tarbiyah bisa terjadi seperti di atas? kalau saya jawabannya "ya, sangat mungkin!" Lama seseorang bergaul dengan sebuah nilai bukan jaminan tentang kedalaman dan ketepatan pemahaman terhadap nilai tersebut.
Apakah dalam hal pemahaman tarbiyah bisa terjadi seperti di atas? kalau saya jawabannya "ya, sangat mungkin!" Lama seseorang bergaul dengan sebuah nilai bukan jaminan tentang kedalaman dan ketepatan pemahaman terhadap nilai tersebut.
Sekarang
mari kita coba melihat tarbiyah dengan sudut pandang yang berbeda dari selama ini.
Sebagai ilustrasi, manakah gambar di bawah ini yang relatif lebih mewakili kata tarbiyah?
Sebagai ilustrasi, manakah gambar di bawah ini yang relatif lebih mewakili kata tarbiyah?
Di sini, ijinkan saya coba untuk melihat tarbiyah itu tidak lagi sebagai upaya MENCETAK KADER DAKWAH, tetapi segala aktivitas yang sekiranya diperlukan untuk MENUMBUHKAN POTENSI/FITRAH MANUSIA.
Lho, apa bedanya?
Menurut saya beda sekali!
Pertama, karena pengertian dasar dari tarbiyah itu sendiri adalah tumbuh dan berkembang, bukan mencetak. Tarbiyah itu ibarat menumbuhkan benih sehingga semakin tinggi pohon, semakin rimbun daun, untuk kemudian berbunga dan berbuah. Menurut Wikipedia, secara umum, tarbiyah dapat dikembalikan kepada 3 kata kerja yg berbeda, yakni:
1. Rabaa-yarbuu yg bermakna namaa-yanmuu,
artinya berkembang.
2. Rabiya-yarbaa yg bermakna nasya-a, tara’ra-a,
artinya tumbuh.
3. Rabba-yarubbu yg bermakna aslahahu, tawallaa
amrahu, sasa-ahuu, wa qaama ‘alaihi, wa ra’aahu, yang artinya
masing memperbaiki, mengurus, memimpin, menjaga dan memeliharanya (atau
mendidik).
Menurut Dr Ali Abdul Halim Mahmud, pengertian tarbiyah adalah :
“Cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah manusia, baik secara langsung melalui kata-kata maupun secara tidak langsung dalam bentuk keteladanan, sesuai dengan sistem dan peringkat khusus yang diyakini, untuk memproses perubahan dalam diri manusia menuju kondisi yang lebih baik”.(Dalam buku Manhaj Tarbiyah ‘indal Ikhwanul Muslimin)
Lihatlah! Pertama yang digaris bawahi adalah interaksi dengan fitrah manusia. Artinya titik tolaknya adalah memahami dengan benar dan utuh tentang fitrah manusia, setelah itu barulah kita dapat berbicara tentang berinteraksi dengan fitrah tersebut baik langsung maupun tidak langsung, juga sistem dan perangkat yang diyakini yang kita sebut sebagai manhaj, baru kemudian kita berbicara menuju kondisi yang baik sebagai hasil dari proses tarbiyah. Di titik ini kita baru bertemu dengan target capaian tarbiyah.
Tanpa kita sadari, selama ini
kita terlalu mengambil sudut pandang ala barat : Begin with the end of mind.
Tetapkan tujuan atau target, baru melangkah. Targetnya apa? itulah
"kondisi yang lebih baik" yang di rumuskan ke dalam muwashofat tarbiyah yang terdiri dari sepuluh aspek :
Ya, selama ini memang kita cenderung lebih fokus pada muwashofat (kerap dimaknai sebagai karakter), bukan pada fitrah yang akan berproses menuju muwashofat itu sendiri.
- Salimul Aqidah
- Shahihul Ibadah
- Matinul Khuluq
- Mutsaqoful Fikr
- Qowiyul Jism
- Mujahadatun Linafsihi
- Harishun ‘ala Waqtih
- Munazhzhamun fi Syu’unihi
- Qodirun ‘alal Kasbi
- Naafi’un Lighoirihi
Ya, selama ini memang kita cenderung lebih fokus pada muwashofat (kerap dimaknai sebagai karakter), bukan pada fitrah yang akan berproses menuju muwashofat itu sendiri.
Lebih-lebih ketika kemudian saat kita menggunakan frasa MENCETAK KADER. Bila kesadaran kita bahwa tarbiyah sama dengan mencetak, maka persespsi kita tentang tarbiyah adalah sebagai proses merubah bentuk yang
sifatnya memaksa, prosesnya rigid, biasanya seragam. Proses dimulai dari menyediakan bahan untuk dicetak.
Biasanya bahan baku harus terseleksi lebih dulu menyesuaikan dengan barang yang
akan dibentuk. Bahan yang tidak memenuhi kualifikasi akan dibuang. Mirip
seleksi di sekolah-sekolah kita. Kemudian masuk mesin cetakan dan keluar hasil. Jumlah bahan menjadi berkurang karena harus
menyesuaikan dengan cetakan. Di ujung proses biasanya menghasilkan bahan sisa atau scrap. Semangat seperti ini akan kita jumpai juga di sekolah-sekola anak kita yang kerap hasilkan anak-anak yang dicap bodoh, tidak lulus, bermasalah, tidak masuk ranking dlsb ketika tidak mampu memenuhi standar kualitas atau cetakan pendidikan yang ditentukan.
Kata membina juga sering dipakai sebagai terjemahan kata tarbiyah. Namun
berdasarkan kamus, membina adalah :
1.
membangun; mendirikan (negara dan sebagainya):
2.
mengusahakan supaya lebih baik (maju, sempurna, dan sebagainya)
Merubah kondisi binaan menjadi lebih baik. Hal ini dalam prakteknya
sering dipakai oleh kita dengan sebutan BINAAN, MEMBINA, dan PEMBINA. Secara
tak sadar kalimat ini menjadikan mutaroby berada pada posisi objek. Maka
dalam proses “membina” itu beragam materi kita jejalkan. Pembina memposisikan diri sebagai guru. Peserta halaqah
menjadi murid. Pada kenyataannya, banyak peserta yang kemudian undur diri karena
suasana halaqah seperti ini. Karena mereka tidak mau dijadikan objek.
Bila mengacu pada frasa mencetak ini, lalu apa bedanya dengan filsuf John Locke yang atheis yang menganggap manusia adalah selembar kertas kosong? Paradigma model begini juga kerap diterapkan penjajah kepada jajahannya. Agar orang jajahan mau menuruti kehendak penjajah. Paradigma “membina” juga kerap dijumpai di dunia intelijen. Dimana proses cuci otak dilakukan kepada objek agar berubah jadi mesin siap pakai. Lengkap dengan kesiapan “berkorban”.
Bila mengacu pada frasa mencetak ini, lalu apa bedanya dengan filsuf John Locke yang atheis yang menganggap manusia adalah selembar kertas kosong? Paradigma model begini juga kerap diterapkan penjajah kepada jajahannya. Agar orang jajahan mau menuruti kehendak penjajah. Paradigma “membina” juga kerap dijumpai di dunia intelijen. Dimana proses cuci otak dilakukan kepada objek agar berubah jadi mesin siap pakai. Lengkap dengan kesiapan “berkorban”.
Kedua,
Karena Allah sudah menginstal potensi dasar yang hebat bersamaan dengan
penciptaan kita. Potensi inilah yang akan tumbuh dibawah naungan tarbiyah. Ia
adalah karunia yang harus disyukuri. Ibarat benih pohon yang siap tumbuh. Kita
menyebutnya FITRAH, diantaranya :
1. keimanan,
2. bakat,
3. moralitas,
4. naluri belajar (rasa
ingin tahu dan imaginasi kreatif),
5. intellectual
(berbahasa/al bayan dan logika),
6. tubuh/fisik/kesehatan
serta panca indera,
7. gender/seksual dan
naluri berkembang-biak,
8. naluri survival.
9. Dll
Para muroby "hanyalah" diamanahi untuk :
- Mengenal potensi/fitrah setiap mutaroby dan menjadi pendamping mereka tumbuh berkembang sesuai potensi/fitrahnya.
- Memahami kondisi kesehatan fitrah para mutaroby. Apakah dalam keadaan sehat, sakit, rusak, atau menyimpang.
- Melakukan terapi bila fitrahnya sakit, rusak, atau menyimpang.
- Menyediakan lahan subur serta menyediakan nutrisi yang dibutuhkan.
- Mengupayakan lingkungan yang kondusif.
- Memberinya tantangan yang diperlukan yang membuatnya imun dari gangguan dan penyakit perusak fitrah.
Jadi tarbiyah itu sebenarnya tidak rumit-rumit amat. Kadang menjadi muroby merasa dituntut untuk jadi malaikat. Dituntut untuk sempurna. Padahal tidak ada yang menuntut seperti itu. Justru para muroby seharusnya rileks dan menikmati proses ketika mendampingi fitrah mutaroby yang sudah hebat dari sono-nya itu untuk tumbuh dan berkembah semakin hebat lagi, untuk kemudian diarahkan menuju rahmatan lil álamiin. Bahkan dalam prakteknya, tarbiyah lebih merupakan seni. Sesuatu yang bisa dinikmati keindahannya. Bukan proses rigid yang membuat stress siapa saja yang menjalaninya.
Dalam hal mendidik anakpun sebenarnya tidak beda. Bahkan akan lebih terasa kalau diterapkan ke anak sendiri. Bahkan pihak yang lebih berhak atas penerapan tarbiyah di atas adalah anak-anak kita. Kita berkesempatan menyaksikan bagaimana proses tumbuh kembang semua fitrah anak itu di depan mata kita sendiri. Sedari awal. Sedari benih yang dibawa saat lahir.
Fitrah Keimanan. Bagaimana kita menyuburkan fitrah ini di masa emasnya yaitu saat usia 0-7 tahun. Sehingga di usia ke tujuh anak siap untuk menjalankan syariat. Ingat perintahkan sholat saat mulai tujuh tahun?
Kemudian, bagaimana kita memelihara fitrah pembelajar-nya (fitrah intelektual/rasa ingin tahu) anak sesuai tahap perkembangannya. Dimana di usia 0 hingga 5 atau7 tahun juga yang dominan adalah otak kanan. Maka jangan dulu diajari calistung yang makanan otak kiri itu. Beri kesempatan bereksplorasi hand on learning, segala disentuh. Segala dicoba. Segala dilihat dan dirasa. Maka anak akan kaya pengalaman. Agar seiring dengan penumbuhan fitrah keimanan, maka berikan mereka imaginasi tentang Tuhannya, malaikat-Nya, Nabi-Nya, kasih sayang-Nya, ciptaan-Nya. Melalui dongeng, membacakan buku, dialog di alam terbuka. Klop!
Fitrah bakat. Seiring dengan beragamnya kegiatan anak, maka di usia 10 tahun anak sudah kaya wawasan dan pengalaman. Saatnya memetakan bakat. Mana diantara ragam kegiatan itu yang paling disenangi (Enjoy), yang paling mudah dilakukan (Easy), hasilnya paling bagus (Excelent), dan paling produktif (Earn). Setelah terpetakan maka terhampar jalan sukses bagi anak. Peran atau profesi masa depan sudah bisa dirancang. Lalu fokus pada bakat dan kekuatan mereka, pertemukan dengan maestro sesuai bakat, beri skill dan knowledge yang relevan dan mendukung dengan peran atau profesi masa depannya itu.
Untuk fitrah seksual, Islam memberikan arahan yang lengkap dan jelas. Dimana arah didikan harus jelas terhadap anak laki-laki dan perempuan. Bagaimana mendidik anak laki-laki agar menjadi qowwam. Mendidik perempuan menjadi seorang ibu sejati. Jadi kalau anak cowok jadi melambai, dan anak perempuan tidak siap secara mental untuk jadi ibu, ini tanda fitrah seksualnya menyimpang. Orang tua harus menyiapkan jawaban di hadapan Allah kelak, kenapa anaknya jadi begitu.
Fitrah-fitrah lainnya perlu pembahasan lebih lanjut. Intinya bahwa tarbiyah itu adalah menumbuhkan, bukan mencetak, atau menulis di kertas kosong.Yakinlah, ketika fokus pada menumbuhkan fitrah, maka jalan sukses akan ALlah sediakan. Buah dan hasilnya Allah sendiri yang akan beri. Justru kita akan terkejut dengan hasilnya yang kerap mewujud seperti keajaiban. Mirip dengan para enterpreneur yang memilih jalan rizki min haisu laa yahtasib. Bahwa rizki itu dari arah yang tidak diduga-duga.
Ada seorang kawan saya yang mengikuti panggilan jiwanya. Mengikuti passion pada bidang sejarah, secara bakat ia seorang yang punya daya analisis yang kuat dan seorang eksplorer. Tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang memodali. Ia jalan sendiri. Dalam sepi. Dalam keadaan ekonomi yang jauh dari leluasa. Lima tahun ia menjelajah pelosok Karawang. Menulis dan melakukan studi pustaka. Seribu halaman sudah ia tulis. Di tahun ke lima ia baru bisa mulai "menjual" hasil karyanya. Jadilah sebuah buku laris "Membongkar Sejarah Karawang". Maka, jadilah ia rujukan terlengkap sejarah Karawang. Padahal ia bukan seorang akademisi. Bukan seorang sejarawan kampus. Ia hanya seorang pemuda desa.
Ketika bertemu nilai Islam dan dakwah yang ia temui di komunitas tarbiyah, jadilah ia pemuda dengan idealisme tinggi. Mengajak para pemuda Karawang peduli sejarah dan kearifan lokal. Peduli kelestarian alam. Ia kini giat berdakwah dengan tema yang sangat membumi, melalui dialog-dialog kebudayaan.
Nah, itulah contoh tarbiyah yang bertitik tolak dari fitrah. Bukan diawali dengan memberikan target-target muwashofat.
Wallahu
a'lam
Karawang, 10
Pebruari 2016