Jadwal kepulangan reguler Si Teteh ke ICM (Insan Cendekia Madani, BSD) pekan ini terpaksa molor
satu hari. Ini karena Si Phanter untuk sementara tidak bisa ditunggangi. Selain karena angka
kilometer sudah melewati waktu ganti oli, di
bagian bawah mesin ternyata ada oli yang merembes. Saya tahunya hari Ahad sore. Sedangkan hari Ahad bengkel pada libur. Mobil
yang sudah senior ini memang suka ada saja keluhannya. Saya sendiri tidak berani pinjam mobil tetangga. Menyewa juga sedang tidak ada anggaran. Ya
sudah, terpaksa Si Teteh tidak masuk sehari. Tentu dengan minta ijin ke pihak
sekolah. Via BBM saya kabarkan sekaligus mohon ijin ke Pak Great Ahmad, wali
kelas Si Teteh.
Karena ada tambahan waktu sehari semalam. Saya manfaatkan
untuk berdiskusi dengan Si Teteh. Kebetulan ada sebuah buku yang sepertinya harus Fathia baca, tentang cara
belajar yang efektif. Juga berbagi tips dan pengalaman menghafal Al Qur’an, lumayan buat dipraktekan di asrama. Bercerita
juga tentang situasi sekolah di kampung saya di Kuningan, tentang sekolah yang
bersahaja tapi prestasinya luar biasa. Memang kalau Si Teteh atau Imad, adiknya, sedang pulang dari pondok rasanya waktu begitu berharga. Ingin berbagi banyak hal. Ingin mendengar banyak hal. Karena akan selalu ada cerita anak pondok yang menarik untuk didengarkan.
Saya juga ingin motivasi Si Teteh lebih tinggi lagi.
Sayang soalnya, kesempatan belajar di ICM tidak semua anak bisa mengalami.
Kalau tidak dimanfaatkan dengan maksimal, rugilah jatuhnya. Bagaimana tidak? Semua sudah disediakan. Makanan tinggal dimakan, pakaian ada laundry. Kamar tidur ber AC. Fasilitas
sekolah super lengkap. Guru-gurunya ramah dan pintar. Sempurna! ICM memang sebuah gambaran ideal tentang sekolah.
Logikanya, dengan fasilitas yang ideal itu akan sangat wajar kalau lahir anak-anak yang juara. Bola sekarang di tangan anak-anak itu. Mau bersungguh-sungguh atau tidak.
Saya juga melihat masih ada proses adaptasi yang belum
selesai pada Fathia. Dari Sekolah Alam ke boarding school kulturnya memang jauh
berbeda. Saat di sekolah alam dulu suasananya memang dinamis dan penuh tantangan.Karena sarana yang terbatas, juga disetting lebih banyak aspek afektif dan psikomotoriknya. Aspek kognitif belum dimaksimalkan. Sekarang saat jadi anak boarding, tantangan terbesarnya justru saat semuanya serba difasilitasi. Karena kalau terlena, kenyamanan itu bisa "membunuh" secara perlahan. Betapa banyak anak yang tumbuh di tengah gelimang fasilitas dan kemudahan tetapi tidak jadi siapa-siapa. Banyak yang kelaparan padahal ada di lumbung padi.
Sesuai perkembangan psikologi anak, settingan di SMA memang dominan kognitif. Masa SMA memang masa berjibaku dengan buku. Mau tidak mau. Si Teteh pun sudah tahu sejak SMP dulu, bahwa masa SMA adalah masa bergelut dengan buku. Tidak sekedar membaca sepintas seperti saat SMP. Sekarang waktunya pendalaman, apalagi sudah ada peminatan. Apalagi buku sudah disediakan sekolah, tak perlu hunting lagi ke Gramedia.
Sesuai perkembangan psikologi anak, settingan di SMA memang dominan kognitif. Masa SMA memang masa berjibaku dengan buku. Mau tidak mau. Si Teteh pun sudah tahu sejak SMP dulu, bahwa masa SMA adalah masa bergelut dengan buku. Tidak sekedar membaca sepintas seperti saat SMP. Sekarang waktunya pendalaman, apalagi sudah ada peminatan. Apalagi buku sudah disediakan sekolah, tak perlu hunting lagi ke Gramedia.
Saya sendiri merasa yakin semangat dari sekolah alam sebelumnya bisa diterapkan di manapun. Termasuk di boarding school. Karena bicara alam tidak berarti alam terbuka saja, bisa juga di dalam gedung. Bisa di mana saja. Inti dari sekolah alam sendiri sebenarnya adalah human based education. Dimana manusia sebagai subjek pembelajaran, sedangkan alam adalah media pembelajarannya. Kurikulum adalah tool, dan guru adalah fasilitatornya. Dengannya sekolah bisa mengeksplorasi potensi anak dan melejitkannya secara maksimal.
Dari ungkapan Fathia, saya juga memahami keinginan besarnya untuk menjadi dokter. Bahkan mimpinya adalah kuliah di Jerman. Cita-citanya juga mulia, ingin menyumbangkan ilmunya itu untuk masyarakat. Tetapi saya sampaikan bahwa hal itu mensyaratkan kerja keras. Menguasai mapel yang akan mengantarkannya ke fakultas kedokteran adalah harga yang harus dibayar dengan kesungguhan dan penuh kesabaran. Di situlah jihadnya seorang anak muda.
Salah satu yang saya coba diskusikan kembali adalah tentang bagaimana mensikapi
hasil Talent Mapping yang sudah dilakukan waktu SMP . Tentang peta kekuatan yang dimiliki dan bagaimana memanfaatkannya. Dari hasil TM Si Teteh ternyata punya
tujuh bakat dominan yaitu WOO (Winning other over), Ideation, Futuristic, Communication, Input, Command, dan Responsibility, Sedangkan empat belas
potensi kekuatan yang dimiliki adalah Controlling, Ideation, Visioning, Communicating, Animating, Brokering, Mediating, Representing, Liaising, Dispatching, Writing, Selling, Influencing, dan Informing.
Si Teteh sendiri sejauh ini sudah memahami kekuatan dirinya di atas.
Sebagian besar kekuatannya bahkan sudah aktual, tidak lagi potensial. Juga
sudah menikmati hasil dari menjalani aktivitas yang sesuai kekuatannya itu. Karya
tulis berupa blog dan buku membuatnya jadi “someone”.
Sekarang ada pertanyaan yang sangat menantang : Bisakah kekuatan yang dimiliki di atas dimanfaatkan untuk mengungkit pencapaian prestasi akademik?
Keyakinan saya, jawabannya adalah BISA. Terutama pada
kekuatan yang relevan dengan kegiatan belajar akademik, yaitu pada
communicating, ideating, writing, animating, informing.
Dengan
memanfaatkan kekuatan di atas, saya yakin proses belajar Si Teteh akan efektif. Di sisi lain, kekuatannya itu akan semakin kuat dan terasah. Seperti otot yang akan semakin kuat ketika dipakai fitnes. Salah satu wacana yang saya lontarkan adalah bagaimana agar Si Teteh bisa memperoleh kesempatan mengajar ke adik
kelas. Karena mengajar adalah cara belajar paling canggih walaupun bentuknya sederhana. Ini
dalam rangka memanfaatkan kekuatan informing
dan communicating-nya. Saya melihat peluangnya ada di Klub Bidang Studi.
Untuk memanfaatkan kekuatan writing, saya pernah minta
Fathia membuat tulisan dari pelajaran matematika. Cuma belum jadi juga.
Sepertinya fase belajar matematikanya masih dasar. Belum ke pendalaman sehingga belum bisa memahami value dari satu tema yang dibahas. Tetapi saya yakin ini hanyalah waktu. Apalagi di pelajaran biologi dan kimia, di situ banyak sekali bahan yang bisa dijadikan tema tulisan.
Sedangkan agar belajarnya efisien, maka metode belajar harus dikuasai. Kebetulan saya sudah lama beli buku “Buku Pintar anak Jenius”-nya
Adam Khoo yang memuat bagaimana cara belajar yang
efisien, dengan memanfaatkan cara kerja otak
kanan dan kiri. Buku itu sekarang sudah ada di kamar asrama Fathia.
Saya juga sampaikan cara belajar tradisional yang masih
relevan, yaitu menghafal. Terutama untuk Biologi, Fisika, Kimia dan Matematika. Walaupun
ini pelajaran yang mengharuskan analisis, tetapi mau tidak mau harus hafal konsepnya. Tak beda dengan saat menghafal Al Qur’an. Harus hafal hingga ke huruf tidak hanya kata dan kalimat. Saya sempatkan juga berbagi sedikit pengalaman menghafal Qur’an yang efisien oleh-oleh dari ikut pelatihan "menghafal Qur'an semudah tersenyum". Tak lupa saya bekali dengan sebuah mushaf Syamil Qur’an yang berisi Al Qur’an plus tarjamah per kata.
Pada kesempatan kali ini saya juga ceritakan suasana sekolah
saya dulu di Kuningan yang bersahaja. Bila dibandingkan ICM, fasilitasnya
amatlah jauh. Tapi, dengan sarana yang tidak selengkap ICM, mereka mampu lahirkan nilai
UN terbesar se-Indonesia. Itu karena kultur belajar yang bagus. Salah satunya
adalah budaya mengajar kakak kelas ke adik kelas.
Dialog saya dengan Si Teteh yang berpindah-pindah tempat, tidak sistematis dan seringnya di tengah canda tawa itu berakhir di depan asrama putri ICM, tepat pukul lima Selasa pagi ba’da shubuh. Sebelum saya balik lagi ke Karawang. Setelah sebelumnya, tepat pukul tiga pagi saya pacu Si Phanter yang sudah kembali segar itu menembus pagi jalan Tol Jakarta-Cikampek yang masih gelap.
Seiring waktu semoga Fathia bisa memahami pesan di atas. Untuk itulah saya menuliskan kembali di sini, agar Si Teteh bisa membaca kembali dan mengingat-ingat dialog dengan abinya itu. Semoga segera bisa melewati masa transisinya. Agar bisa segera "on" belajar lingkungan yang serba teratur dan serba difasilitasi itu.
Maafkan abi ya Teh, kalau kemudian merasa ada pressure yang berlebihan. Yakinlah apa yang sedang kita jalani adalah bagian hidup
terindah yang akan kita kenang bersama kelak…
Karawang, 19 Nopember 2014.