HARI PERTAMA DUA KELUARGA



Momennya sederhana. Tapi bagi saya ada tambahan "tum"-nya. Jadi momentum. 

Dua keluarga bertemu. Keluarga saya dan keluarga Pak Aris Widodo. Walau tak seluruhnya. Walau bentuknya juga sederhana. Tapi mempertemukannya tidak sederhana. Ada keyakinan yang mendahului. Ada visi yang difahami. Ada cita-cita yang diingini.

"Pak, kita besok ketemuan ya. Bareng anak-anak," ajak saya via Whatsapp.
“Agendanya apa?” tanya pak Aris.
“Sarapan saja. Rileks,” balas saya.

Memang jadinya hanya sarapan. Dan ngobrol ngalor ngidul. Saya dengan dua anak saya, Dhiya dan Uki. Pak Aris dengan tiga jagoannya : Farhan, Faiz dan Fahmi.

Targetnya hanya membuat anak-anak itu enjoy. Bahwa belajar tidak harus kaku dan serius. Belajar ternyata bisa sambil rileks.

Saya ingin mengajak anak-anak lihat kolam ikan percobaan yang hampir jadi bikinan Pak Aris. Ada tiga lokal yang sedang dibangun. Kolam tembok dibangun dari semen dan hebel. Jadinya memang rapi jali. Jadi mirip taman karena diselingi aneka tumbuhan. Ada jati solomon, kelor, juga kelengkeng. Rindang dan dingin. Aneka sayur seperti kangkung dan bayam sudah tumbuh subur. Suasananya jadi hijau dan segar jadinya.

Nanti akan ada saung buat ngobrol dan pertemuan. Ada juga kandang percobaan untuk anak ayam umur 0-20 hari dan mungkin anak kambing lucu 1-2 ekor atau kelinci. Untuk ayam pembesaran dan dan sekawanan kambing yang sudah besar sebagai bagian dari project integrated farming-nya keluarga Pak Aris ada di tempat lain.

Satu lagi yang unik adalah kandang percobaan untuk budidaya magot. Makhluk mungil sejenis belatung tapi bersih yang kaya protein. Ini untuk  pakan ikan dan unggas. Sekaligus mesin daur ulang sampah yang canggih tapi alami.

Saya sempat melihat dan memegang seonggok magot yang sedang bergerombol memangsa sayur sisa dapur. Betapa cepat dan rakusnya. Cocok untuk pemroses cepat daur ulang. Jauh lebih cepat dibanding cacing. Apalagi pembusukan oleh bakteri. Walaupun dari segi kekuatan, magot kalau jauh dari cacing. Magot berumur pendek saja. Harus segera dikonsumsi oleh ikan atau ayam. Kalau dibiarkan, maka akan jadi lalat BSF, Black Soldier Fly.

“Apa yang Farhan fahami dari homeschooling?” Tanya saya sambil melahap uli goreng dan secangkir teh manis hangat. Kami duduk melingkar berjauhan (phisical distancing) di pinggir jalan lingkungan Blok LA Perumnas, lokasi rumah Pak Aris.
“Homeschooling itu berarti belajar matematikanya di rumah,” jawab Farhan 
“Jadi, sekolahnya pindah ke rumah?” tanya saya lagi.
“Iya,” jawabnya. 

Saya ingin menggali pemahaman tentang apa itu belajar dan apa itu sekolah. Selama SFH (School from home, sekolah di rumah) ini saya mendapat gambaran bahwa belajar itu sudah semakin sekolah-sentris. Bahwa belajar itu ya apa-apa yang dikerjakan atau ditugaskan oleh sekolah. 

"Farhan sama Faiz katanya suka menggambar ya?" saya tanya lagi.
"Iya"
"Wah, calon desainer ini. Apalagi ada konveksi punya abinya"

"Kalau A’ Dhiya, pingin jadi apa?" Pak Aris giliran tanya ke Dhiya
"Pengusaha," Dhiya jawab singkat saja. Tipikalnya begitu.
"Nah, kalau Uki, senang belajar apa?"
"Matematika," jawab Uki.
"Kepingin jadi hafidz, nggak?" Saya tanya.
"Kepingin," jawab Uki dan Dhiya 
"Pada ingin mondok, nggak?" Tanya Pak Aris
"Nggak," jawab Dhiya
"Kenapa? Padahal sudah khatam Negeri 5 Menara?" Saya yang tanya
"Nggak ingin aja," timbal Dhiya. Khas jawaban anak sekarang.
"Ingin sih, tapi nggak jadi?" Jawab Farhan.
"Kenapa?" Saya tanya
"Ya, nggak jadi aja," jawab Farhan. 

Lalu obrolan tiba pada tema aktual.
"Apa beda dan persamaan Atta Halilintar dan Ferdian Paleka?" Saya memancing dengan pertanyaan.
"Siapa itu Pak?" Tanya pak Aris ke saya.
"Yutuber," bisik saya pelan.
"Samanya, keduanya sama-sama yutuber," jawaban anak-anak.
"Siapa yang suka nge-prank?" Saya tanya balik 
"Dua-duanya, sama-sama suka nge-prank." Rupanya anak-anak cepat nyambung kalau ditanya tokoh yutuber.
"Bedanya?" Saya kejar sedikit.
"Emmmm….apa ya?" Di titik ini anak-anak mentok. Nggak bisa jawab. Berarti posisinya masih sebagai konsumen yutub. 

"Nah, ini bedanya…. kalau si Atta itu pengalaman hidupnya macam-macam. Komplet. Beda dengan satunya. Modal nge-prank doang." Saya sedikit jelaskan beda si Atta dan satunya.

Sengaja saya memilih Atta Halilintar sebagai contoh. Mewakili yutuber papan atas yang kemudian menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengikuti jejaknya. Yang ingin kaya dari yutub.

Singkatnya, para millenial begitu terobsesi jadi yutuber. Tanpa memahami proses bisnisnya. Yang penting jadi yutuber. 

Lalu agar video dilihat banyak orang muncullah "kreativitas" membuat konten yang bisa dilihat banyak pengunjung. 
Di sinilah muncul kenaifan. Karena terobsesi untuk cepat terkenal, maka dipilihlah konten yang tujuannya semata membuat terkenal. Diantaranya yang dijadikan andalan adalah nge-prank. "Ngerjain orang" kalau dalam istilah sehari-hari.

Yang lainnya ada yang membuat dialog lucu dan absurd pasangan yang lagi pacaran. Sedangkan yang serius dengan membuat podcast. Yang lain bikin joged aneh-aneh. Ada juga yang nekad buat konten nyerempet pornografi.

Yang jelas banyak yang jauh dari manfaat secara pendidikan. Bahkan bisa merusak akhlak. Misalnya, jadi nggak tau malu. Hanya demi konten. Ideologinya benar-benar ideologi pasar. Views, like, dan subscribe sudah jadi tuhan era sekarang, barangkali.

Begitulah, ini hanya ulasan sekilas dari fenomena yang melatarbelakangi saya membuat project yang manual dan konvensional untuk anak-anak saya. Yang jauh dari selera kebanyakan anak sekarang yang serba teknologi dan gadget. Macam bikin rumah cacing, atau ternak lele dalam ember (budikdamber). Budidaya ubi, kangkung, bayam, dll. Tujuannya, biar anak-anak saya tahu proses alamiah. Manual. Konvensional. Tradisional. 

Saya yakin, anak-anak itu perlu keterampilan petukangan. Tahu cara memakai gergaji, palu, pisau, golok. Tahu cara buat kandang ayam. Buat kompos. Manjat pohon dll.

Anak-anak harus tahu matematika terapan untuk hitung laba rugi. Membuat perencanaan bisnis sederhana beternak ikan. 

Mereka perlu tahu perilaku makhluk hidup. Ternyata berbeda memperlakukan lele dan ikan nila. Beda dengan ikan patin dan ikan mas. Lebih berbeda lagi nanti saat "bergaul" dengan kucing dan kambing.

Saya ternyata tidak sendiri. Banyak orang tua di luar sana yang juga was-was dengan perilaku anak-anak sekarang. Tapi bingung menyikapinya. 

Sebagian ortu memakai pemaksaan yang berujung konflik antara generasi. Sebagian lagi cuek, lalu tetiba "kehilangan" anak-anaknya dibawa larut daya tarik internet bagai tersedot ke dalam pasir hisap yang susah keluarnya.

Saya semakin meyakini pentingnya kegiatan yang "manusiawi" ini karena yang memilih aktivitas konvensional, manual dan tradisional adalah seorang Bill Gates (Microsoft), juga Steve Jobs (Apple), Tim Cook (Google)  dan Evan Williams (pendiri Twitter) yang kampiun teknologi itu. Anak-anak mereka ternyata tidak dilepaskan begitu saja bergaul dan larut dalam keasyikan bergawai.

"Abi ingin kalian menjalani proses alamiah seperti yang dialami Atta Halilintar. Jangan hanya lihat saat sudah jadi yutuber. Dia masih muda tapi sudah beragam pengalaman dan kegiatan. 

"Dan ingat, bahwa kita harus tuntas di satu tema kegiatan. Misalnya, ternak lele. Itu harus tuntas. Bisa membiakkan lele, memelihara, hingga bikin kolamnya. Tahu cara menyiapkan airnya. Ngukur pH-nya. Juga bikin pakannya. Hingga bisa menjual dengan harga yang menguntungkan. Disamping sedekah lele ke tetangga.

"Terus ada ilmu yang diperlukan. Ilmu agama, matematika dasar, bahasa Arab, inggris, tahsin Qur'an. Semua ilmu yang kita perlu. Walau tak suka. Selainnya silakan pelajari ilmu yang disukai."

Begitulah, ngombrol saja. Sambil menyantap sarapan pagi. Ada ayam goreng. Tahu bakso, uli dan bontot. Diselingi minuman teh manis hangat. Juga saling ledek antar saudara.

Sebentar kemudian sudah jam sembilan. Kami pun kembali pulang. 

Berikutnya, sepertinya harus bawa raket badminton. Biar anak-anak itu berinteraksi lebih seru lagi. Sekalian berolahraga. Sekalian ngobrol lagi.


Karawang, 23 Juni 2020

Comments

Popular posts from this blog

PANGGUNG SALMAN DI PENGHUJUNG TAHUN

HARU BIRU PUTIH BIRU

MUTASI PONTI