Ada rasa haru menyeruak tatkala buah hati kita menunjukkan tanda tanda kedewasaan. Tak sekedar saat tanda biologis, tetapi ketika kedewasaan itu muncul dalam cara berfikir dan bersikap.
Salah satu titik krusial adalah tentang pandangan terhadap lawan jenis. Bagaimana sikap anak-anak ketika masa pubertas menyapa dan kemudian ada momentum untuk mengekspresikan. Misalnya saat buah hati kita yang perempuan tiba-tiba ada yang "nembak". Tentu oleh seorang cowok. Bagaimana kira-kira respon dari Sang Buah Hati?
Bagi kebanyakan orang tua mungkin ini bukan sebuah perkara yang besar. Dianggap lumrah di zaman sekarang. Apalagi zaman Siti Nurbaya sudah terlanjur dianggap zaman baheula yang ketinggalan. Sudah kuno saat pilihan pasangan hidup ditentukan orang tua. Saat diri sendiri tidak bisa memiliki pilihan.
Tetapi penolakan terhadap drama Siti Nurbaya diekspresikan dengan gaya hidup bebas. Salah satunya bebas memilih siapa pasangan hidup dengan penekanan bebas dari intervensi pihak lain. Tetapi dalam prakteknya meluas, munculnya budaya berupa kebebasan memiliki pacar sebelum menikah.
Kenapa harus pacaran dulu? Ya inilah akibat logis kalau memilih pasangan hidup memakai pendekatan pasar bebas. Sering menihilkan peran orang tua sekalipun. Seakan area suci yang tidak boleh disentuh. Maka lihatlah pergaulan bebas dengan alasan penjajagan mencari pasangan hidup. Pacaran pun menjadi lumrah.
Itulah sepertinya yang membuat pergaulan anak muda menjadi lepas kontrol.
Itu pula satu hal yang yang menjadi pertanyaan besar terhadap anak saya. Bagaimana ketika masa itu datang? Bagaimana pandangan dan sikapnya?
Alhamdulillah, berawal dari budaya komunikasi yang sejauh ini terbangun baik. Anak saya relatif terbuka. Apa saja masalah bisa dikomunikasikan kepada ayah ibundanya. Pun ketika mengalami peristiwa nan mendebarkan ini : saat ananda "ditembak" cowok. Apalagi ketika tahu kalau si cowok yang nembak itu cowok ganteng. "Mirip Afgan" katanya. Dia memang cowok favoritnya.
"Ananda tolak, Bi" katanya.
"Bagaimana menolak nya" kami penasaran. Sikap menolak ternyata belum menentramkan, alasan penolakan itu yang ditunggu. Kalau menolak cowok yang tidak ganteng mungkin wajar, he he. Tapi menolak cowok ganteng dan sopan, siapa tahan?
"Menolak dengan cara baik-baik. Ngobrol. Ananda sampaikan kalau motivasinya hanya karena ingin tambah semangat belajar, tidak cukupkah orang tua sebagai motivasi untuk giat belajar?"
Sungguh ingin terbang rasanya...
Cara Ananda memposisikan kami orang tuanya begitu indah. Bahkan di hadapan cowok ganteng sekalipun yang naksir padanya....
Alhamdulillah....
Wednesday, August 27, 2014
Wednesday, August 20, 2014
Keluarga Sakinah Menurut KH Miftah Faridl
Berikut saya kutipkan kultwit dari ustd @Miftahfaridl_ID ttg
Keluarga Sakinah. Mudah-mudahan bermanfaat :
#KELUARGA SAKINNAH_1
Bismillah. InsyaAllah pkl 05.30 wib pagi ini kita akan bahas
#KeluargaSakinah1 jika brkenan silahkan sbarkan
1. Saat ini arus pergeseran nilai sosial dlm masy cenderung
semakin permisif khususnya dalam masalah keluarga. #KeluargaSakinah1
2. Keluarga tidak lagi dilihat sebagai ikatan spiritual yang
menjadi ruang pengabdian kepada Allah SWT. #KeluargaSakinah1
3. Kawin-cerai cenderung dilihat sbatas proses formal sbg
simbol ikatan sosial antara dua insan yang berbeda jenis. #KeluargaSakinah1
4. Perkawinan juga tidak lagi dilihat sebagai proses sakral
yang menjadi bagian dari perintah Allah dan sunnah RasulNya #KeluargaSakinah1
5. Padahal, di sisi lain, banyak asumsi yg meyatakan bhw
keluarga mrpkn sentral masalah dlm mmbangun masa depan bangsa.
#KeluargaSakinah1
6. Dari rahim keluarga lah lahir berbagai gagasan perubahan
dalam menata tatanan masyarakat yang lebih baik. #KeluargaSakinah1
7. Tdk ada satu bangsa pun yg maju dlm kondisi sosial
keluarga yg kering spiritual, atau yg tdk lg mngindahkan religiusitas dlm
hidupnya.
8. Krn itu, Qur'an mmuat ajaran ttg kluarga, mulai dr
komunikasi antar individu dlm kluarga, hg relasi sosial antar keluarga dlm
masy.
9. Banyak memang problema yang biasa dihadapi oleh keluarga.
#KeluargaSakinah1
10. Banyak keluarga yang tidak lagi sanggup menahan
"derita" yang sebetulnya diciptakannya sendiri. #KeluargaSakinah1
11. Tidak sedikit diantaranya yg mmilih perceraian, pdhl
pilihan itu sangat dibenci Allah meskipun halal adanya. #KeluargaSakinah1
12. Istilah "sakinah" digunakan al-Qur'an utk
mnggambarkan kenyamanan keluarga, spt-nya menjadi idaman semua orang.
#KeluargaSakinah1
13. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan
"sakanun" yang berarti tempat tinggal. #KeluargaSakinah1
14. Mdh dipahami memang jk istilah itu digunakan Qur'an utk
mnyebut tmpat berlabuhnya stiap angg keluarga dlm suasana yg nyaman & tenang...
15. sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih
(mawaddah dan rahmah) di antara sesama anggotanya. #KeluargaSakinah1
16. Saya ingin menyebut dua tempat dalam al-Qur'an yang
mengungkap kata "sakinah". #KeluargaSakinah1
17. Pertama dalam surah al-Baqarah, ayat 248. Jika
diterjemahkan secara agak bebas, ayat itu berbunyi:… #KeluargaSakinah1
18. Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka:
"Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut
kepadamu…#KeluargaSakinah1
19. di dalamnya trdapat ktenangan dr Tuhanmu & sisa dr
peninggalan keluarga Musa & keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh
Malaikat."
20. Kata tabut spt disebutkan di atas, mnurut pr mufassir,
ialah peti tempat menyimpan Taurat yg mmbawa ketenangan bagi mereka.
21. Spt disebutkan dlm konteks ayat ini, di dlm peti tsb
trdapat ketenangan, yg dlm bahasa al-Qur'an disebut sakīnah. #KeluargaSakinah1
22. Dg kata lain, sakīnah adl tempat yg tenang, nyaman,
aman, kondusif bg penyimpanan sesuatu, tmsk tempat tinggal yg tenang bagi
manusia.
23. Kedua, dengan penambahan alif-lām di awal kata itu,
al-sakīnah, disebutkan dalam surah al-Fath, ayat 4…#KeluargaSakinah1
24. "Dia-lah yg tlh mnurunkan ktenangan ke dlm hati
orang2 mu'min spy keimanan mrk brtambah di samping keimanan mereka (yang telah
ada)".
25. Dalam ayat yg terakhir ini, kata sakīnah diterjemahkan
sbg ketenangan yg sengaja Allah turunkan ke dlm hati orang2 mu'min.
26. Ketenangan ini merupakan suasana psikologis yang melekat
pada setiap individu yang mampu melakukannya. #KeluargaSakinah1
27. Ketenangan adl suasana batin yg hanya bs diciptakan
sendiri. Tdk ada jaminan orang lain dpt ciptakan ketenangan bg yg lainnya.
28. Jadi, kata "sakinah" yg digunakan utk
menyifati kata "keluarga" spt biasa disebut "keluarga
sakinah" mrp tata nilai…#KeluargaSakinah1
29. yg sharusnya jd kkuatan pnggerak dlm mmbangun tatanan
kluarga yg dpt mmberikan knyamanan dunia dan jaminan kselamatan akhirat.
30. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi
setiap anggota keluarganya. #KeluargaSakinah1
31. Ia merupakan tempat kembali kemana pun mereka pergi.
#KeluargaSakinah1
32. Mereka merasa nyaman di dlm-nya & penuh percaya diri
ketika berinteraksi dg keluarga yg lainnya dalam masyarakat. #KeluargaSakinah1
33. Inilah yang dalam perspektif sosiologis disebut unit
terkecil dari suatu masyarakat. #KeluargaSakinah1
34. Karena itu, dg mnggunakan cara pandang spt ini, kasus2
yang akhir2 ini banyak melilit kehidupan keluarga…#KeluargaSakinah1
35. di antaranya dapat diduga karena rumah sudah tidak lagi
nyaman untuk dijadikan tempat kembali. #KeluargaSakinah1
36. Suami tidak lagi menemukan suasana nyaman dalam rumah,
demikian pula istri. #KeluargaSakinah1
37. Bahkan anak2 pun sangat mungkin lebih mudah menemukan
suasana nyaman di luar rumah ketimbang di rumah sendiri. #KeluargaSakinah1
38. Sakinah adl konsep kluarga yg dpt mmberikan knyamanan
psikologis, mesk mungkin sec fisik tampak jauh di bawah standar nyaman.
39. Demikian bhsan kita ttg #KeluargaSakinah pg ini, jk msh
ada usia & ksempatan, kita lanjutkan besok pagi yah. Mangga sebarkan jk
brkenan.
#KELUARGASAKINAH_2
Bismillah. Alhamdulillah. Laa haula wa laa quwwata illa
billah.
1. Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara
bersama-sama. #KeluargaSakinah2
2. Melalui proses panjang untuk saling menemukan kekurangan
dan kelebihan masing-masing…#KeluargaSakinah2
3. setiap anggota keluarga akan menemukan ruang kehidupan
yang mungkin sebelumnya tidak pernah dibayangkan. #KeluargaSakinah2
4. Itu sebabnya, keluarga pd dasarnya adlh proses
pemblajaran utk temukan formula yg lbh tepat bagi kedua belah pihak.
#KeluargaSakinah2
5. … baik suami-istri, maupun anak-orangtua.
#KeluargaSakinah2
6. Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri
keluarga. #KeluargaSakinah2
7. Lebih-lebih ketika kita akan belajar tentang baik-buruk
kehidupan keluarga dan rumah tangga. #KeluargaSakinah2
8. Tidak banyak buku dan teori yang tepat menembak sasaran
ketika diperlukan solusi atas problema keluarga. #KeluargaSakinah2
9. Ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari
pengalaman. #KeluargaSakinah2
10. Itulah sebabnya, dlm nasihat2 perkawinan, keluarga
sering diilustrasikan sbg perahu yg berlayar melawan badai samudra.
#KeluargaSakinah2
11. Kita dapat belajar dari pengalaman siapa pun.
#KeluargaSakinah2
12. Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan.
#KeluargaSakinah2
13. Atau juga pengalaman orang lain selama tidak merugikan
pelaku pengalaman itu. #KeluargaSakinah2
14. Kasus demi kasus yang dilalui dalam perjalanan sejak
pertamakali menikah adalah pelajaran berharga. #KeluargaSakinah2
15. Kita dapat belajar dari pengalaman orang tentang memilih
pasangan ideal…#KeluargaSakinah2
16. Menelusuri kewajiban2 yang mengikat suami-istri, atau
tentang penyelesaian masalah yang biasa dihadapi keluarga. #KeluargaSakinah2
17. Semuanya sulit kita temukan dalam buku-buku ilmiah
sekalipun. #KeluargaSakinah2
18. Ia ada pada buku raksasa yang disebut kehidupan.
#KeluargaSakinah2
19. Bagaimana kita dapat memahami istri yg biasa buka
rahasia, atau menghadapi suami yang berkemampuan seksual rendah.
#KeluargaSakinah2
20. Dan masih banyak lagi masalah keluarga yang seringkali
sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. #KeluargaSakinah2
21. Benar, rumah tangga itu ibarat perahu yang tak
henti-hentinya menghadapi badai di tengah samudra luas. #KeluargaSakinah2
22. Bila dibuat ibarat, rumah tangga adalah dua sisi dari
keping uang yang sama. #KeluargaSakinah2
23. Ia bisa menjadi tambang derita yang menyengsarakan,
sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan. #KeluargaSakinah2
24. Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain.
#KeluargaSakinah2
25. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi
lainnya datang menyusul kemudian. #KeluargaSakinah2
26. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa.
#KeluargaSakinah2
27. Tentu siapapun berharap, bahwa rumah tangga yg dijalani
adlh yg memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya.#KeluargaSakinah2
28. Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfir
surga: keindahan, kedamaian, dan keagungan, #KeluargaSakinah2
29. … adalah rumah tangga seorang nakhoda yang pandai
menyiasati perubahan. #KeluargaSakinah2
30. Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah
pentas cinta kasih yang diperankan oleh setiap penghuninya. #KeluargaSakinah2
31. Rumah jd sentral kembalinya stiap anggta keluarga stelah
mlalui pengembaraan panjng di tempat mengadu nasibnya masing2.#KeluargaSakinah2
32. Hanya ada satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu,
maupun bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga. #KeluargaSakinah2
33. Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu
merindukan orang tua, demikian pula sebaliknya. #KeluargaSakinah2
34. Betapa indahnya itu taman rumah tangga.
#KeluargaSakinah2
35. Sebab yang ada hanya cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah
yang sejatinya menjadi pakaian sehari-hari keluarga. #KeluargaSakinah2
36. Dengan pakaian ini pula rumah tangga akan melaju
menempuh badai sebesar apapun. #KeluargaSakinah2
37. Betapa indahnya kehidupan ketika ia hanya berwajah
kebaikan. #KeluargaSakinah2
38. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah
kebahagiaan. #KeluargaSakinah2
39. Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali menghadirkan hal
yang sebaliknya. #KeluargaSakinah2
40. Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan
malapetaka yang kerap merundung. #KeluargaSakinah2
41. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula
sebaliknya. #KeluargaSakinah2
42. Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun
tidak lagi peduli akan masa depan anaknya. #KeluargaSakinah2
43. Bila sudah demikian halnya, maka bukan surga lagi yang
datang, melainkan neraka yang siap untuk menikam. #KeluargaSakinah2
44. Benar kt Kahlil Gibran, bahwa org tua tdk punya hak
membesarkan jiwa anak2nya, dan mrk hanya boleh mmbesarkan raganya.
#KeluargaSakinah2
45. Tapi raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang
akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka. #KeluargaSakinah2
Demikian bahasan kita ttg #KeluargaSakinah2, besok pagi
insyaAllah kita akan bahas #KeluargaSakinah3. Silahkan dsebarkan jika berkenan.
#KELUARGASAKINAH_3
Bismillah. Alhamdulillah. Laa haula wa laa quwwata illa
billah.
1. Membangun derajat sakinah dalam keluarga, memang tidak
semudah apa yang kita ceritakan. #KeluargaSakinah3
2. Ia merupakan bentangan proses yang sering menemui badai.
#KeluargaSakinah3
3. Untuk menemukan formulanya pun bukan hal yang sederhana.
#KeluargaSakinah3
4. Beberapa kasus berikut adalah di antara pelajaran yang
pernah saya temukan, #KeluargaSakinah3
5. dan dapat menjadi pelajaran penting untuk mewujudkan
indahnya keluarga yang mungkin pernah dimimpikan. #KeluargaSakinah3
6. Suatu ketika, seorang ibu datang ke tempat biasa saya
menerima para tamu yang sengaja ingin berkonsultasi. #KeluargaSakinah3
7. Stelah duduk, ibu itu pun membuka bicara. Tp hanya
beberapa penggal kata dia lewati. Selebihnya dia hanya bisa
menangis.#KeluargaSakinah3
8. "Suami saya akhir-akhir ini jarang pulang,
Pak", paparnya singkat. #KeluargaSakinah3
9. Ia seolah ingin saya mengerti, tanpa harus lebih panjang
berbicara. #KeluargaSakinah3
10. Saya berusaha mengerti. Tidak sulit menangkap maksud
utamanya memang. #KeluargaSakinah3
11. Sebab ibu ini bukan yang pertama mengucapkan penggalan
kalimat itu. #KeluargaSakinah3
12. Sebelumnya, banyak ibu-ibu muda yang bernasib hampir
sama, atau bahkan persis sama. #KeluargaSakinah3
13. Dari penggalan kalimat yang terungkap dalam kasus di
atas, kita juga bisa membayangkan, #KeluargaSakinah3
14. masalah apa sebetulnya yang sedang dihadapi ibu itu
sehingga harus datang untuk membicarakannya pada orang lain. #KeluargaSakinah3
15. Ini memang bukan satu-satunya masalah yang banyak
dikeluhkan pasangan suami-istri. Masih banyak yg lainnya. #KeluargaSakinah3
16. Tapi kalau dicoba ditelusuri akar masalahnya, umumnya
hampir sama. #KeluargaSakinah3
17. Kata kuncinya hampir sama: "tidak tahan menghadapi
godaan". #KeluargaSakinah3
18. Sebab godaan itu bisa datang kepada siapa pun.
#KeluargaSakinah3
19. Godaan bisa merapat pada suami, bisa juga akrab dengan
istri. #KeluargaSakinah3
20. Karena godaan itu pula, siapa pun bisa membuat seribu
satu alasan. #KeluargaSakinah3
21. Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis, tidak bisa
saling memahami, tidak juga mendapat keturunan, #KeluargaSakinah3
22. atau ada pula yang karena "intervensi"
keluarga yang berlebihan. #KeluargaSakinah3
23. Inilah gambaran masalah yang sering saya terima dari
banyak pasangan keluarga. #KeluargaSakinah3
24. Sejak sekitar sepuluh tahun terakhir, saya memang banyak
mendapat pertanyaan umat di seputar membina keluarga sakinah. #KeluargaSakinah3
25. Dalam usaha menjawab pertanyaan2 dari umat itulah, saya
sering terlibat dalam diskusi-diskusi panjang dan menarik. #KeluargaSakinah3
26. Kasus yang menjadi bahan diskusi itu sangat bervariasi.
#KeluargaSakinah3
27. Mulai problem memilih jodoh, kesulitan mendapat pasangan
ideal, hingga keberatan seorang istri utk dimadu oleh suami. #KeluargaSakinah3
28. Lain orang lain pula masalah yang menghimpit kehidupan
keluarganya. #KeluargaSakinah3
29. Hampir tidak ada hari tanpa "pasien" yang
datang membawa masalah. #KeluargaSakinah3
30. Masalah-masalah itu pula yang kemudian telah mendorong
saya untuk terus menggali solusi, #KeluargaSakinah3
31. merenung menafakuri kenyataan masyarakat yang kian jauh
dari apa yang saya bayangkan sebelumnya. #KeluargaSakinah3
32. Dalam beberapa perenungan lepas setelah para
"pasien" itu meninggalkan ruang konsultasi, #KeluargaSakinah3
33. saya menemukan kegelisahan betapa problema keluarga itu
telah menjerat masyarakat semakin tak berdaya. #KeluargaSakinah3
34. Ada yang karena salah persepsi sehingga mereka pada
dasarnya telah tersiksa oleh cara pandangnya sendiri. #KeluargaSakinah3
35. Ada juga yang karena faktanya memang sangat menyakitkan.
#KeluargaSakinah3
36. Tidak bisa dihindari jika sewaktu-waktu seorang anak
tega membiarkan kerinduan ibunya…#KeluargaSakinah3
37. karena ketidakpuasan psikologis saat ibunya terlalu
mempercayakan pola asuh hanya pada seorang pembantu rumah tangga.
#KeluargaSakinah3
38. Dari beberapa kasus yang pernah terungkap, saya pun
memperoleh pelajaran berharga, #KeluargaSakinah3
39. betapa perubahan sosial ini telah menggiring keluarga
pada jurang ketidakpastian pegangan. #KeluargaSakinah3
40. Seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya.
#KeluargaSakinah3
41. Demikian pula seorang bapak yang tidak lagi berwibawa di
hadapan anak dan istrinya. #KeluargaSakinah3
42. Semua terjadi bukan tanpa alasan. #KeluargaSakinah3
43. Anak yang tidak mau ketinggalan komunitas sebayanya
(peer-group), bapak yang tidak mau kalah wibawa istrinya, #KeluargaSakinah3
44. serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan hak-hak
kesetaraannya atas suami. #KeluargaSakinah3
45. Seolah tidak ada yang salah dengan semua kenyataan yang
semakin memprihatinkan itu. #KeluargaSakinah3 #KeluargaSakinah3
46. Tapi benarkah bahwa perubahan zaman ini merupakan
penyebab utama terjadinya pergeseran nilai dalam rumah tangga?
#KeluargaSakinah3
47. Bukankah hukum sosial itu pada dasarnya lahir dari
kepentingan kemanusiaan suatu masyarakat? #KeluargaSakinah3
48. Lalu, mengapa kemudian masyarakat tidak lagi sanggup
bertahan… #KeluargaSakinah3
49. …dalam norma-norma yang telah kuat mengikat setiap
anggotanya untuk tetap bertahan pada jati dirinya yang asli? #KeluargaSakinah3
insya Allah
besok kita akan lanjutkan bahasannya dalam #KeluargaSakinah4, jangan bosan menyimak yaah.
Smg manfaat. silahkan dsebarkan
#KELUARGASAKINAH_4
1. Orang tua kita dulu telah terbukti berhasil mngantarkan
anak2nya mnjadi manusia berkarakter, berkarakter Islam tentunya
#KeluargaSakinah4
2. tanpa harus larut dlm perubahan zaman, yg seringkali
menjerumuskan #KeluargaSakinah4
3. Transformasi budaya melalui masuknya informasi &
komunikasi lewat media, bukan sesuatu yg mudah dihindari. #KeluargaSakinah4
4. Hampir setiap sajian yang sering memperlihatkan perbedaan
budaya, kini telah menjadi standar nilai masyarakat kita. #KeluargaSakinah4
5. Ukuran baik-buruk tidak lagi bersumber pada moralitas
universal yang berlandaskan agama, #KeluargaSakinah4
6. tapi lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial
yg dibentuk untuk tujuan pragmatis bahkan hedonis. #KeluargaSakinah4
7. Tanpa disadari, nilai-nilai itu kini telah membentuk
perilaku sosial dan menjadi anutan keluarga dan masyarakat kita.
#KeluargaSakinah4
8. Banyak di antara pertanyaan dan keluhan umat yang
berkaitan dengan problema keluarga #KeluargaSakinah4
9. umumnya menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh
semakin lunturnya nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. #KeluargaSakinah4
10. Masyarakat kini seolah telah berubah mnjadi
"masyarakat baru" yg telah membawa suasana yg semakin kabur.
#KeluargaSakinah4
11. Gaya hidup remaja yg berujung pd "pernikahan
darurat" seolah telah mnjadi model terbaru yg digemari banyak pasangan.
#KeluargaSakinah4
12. Pernikahan yang dianjurkan Nabi seolah menjadi jalan
terakhir setelah menemukan jalan buntu. #KeluargaSakinah4
13. Sementara perceraian yg dibenci Nabi justru menjadi
pilihan yang banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat. #KeluargaSakinah4
14. Kenyataan ini, menurut saya, mrp bagian kecil dari
proses "modernisasi" kehidupan yg berlangsung tanpa kendali etika.
#KeluargaSakinah4
15. Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya diperankan
oleh masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur. #KeluargaSakinah4
16. Seorang anak kehilangan pegangan & panutan.
Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk hanya sekedar menyapa anak-anaknya.
#KeluargaSakinah4
17. Ktk anaknya semakin dewasa, dia "dipaksa"
harus menemukan jalan hidupnya sendiri. #KeluargaSakinah4
18. Mencari jalan sendiri, kmn dia hrs mmperoleh
pengetahuan, dan bahkan dia harus mendiskusikan sendiri siapa calon
pendampingnya, misalnya
19. Semuanya berjalan sendiri-sendiri...#KeluargaSakinah4
20. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah kehilangan
daya perekatnya #KeluargaSakinah4
21. dan masing2 telah menentukan jalan hidupnya yg brbeda-2,
mk bangunan "baiti, jannati", akan semakin jauh dr kenyataan.
#KeluargaSakinah4
22. Ia adalah mimpi yang semakin sulit terwujud. Bahkan
mungkin mimpi saja tidak pernah terpikirkan. #KeluargaSakinah4
23. Yang ada hanyalah "neraka" yang tidak
henti-hentinya membakar suasana rumah tangga. Naudzubillah #KeluargaSakinah4
24. Satu lagi yang sering menjadi akar bencana (fitnah)
keluarga, yaitu anak. #KeluargaSakinah4
25. Dunia anak adalah dunia skeptik, dunia yang lebih banyak
diwarnai oleh proses pencarian #KeluargaSakinah4
26. untuk menemukan segala hal yang menurut perasaan dan
pikirannya ideal. #KeluargaSakinah4
27. Dunia ideal sendiri, baginya, adl dunia yg ada di depan
matanya, yg karenanya ia akan melakukan pengejaran atas dasar kehendak pribadi.
28. Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan psikologis yg
sedang dilaluinya jg msh belum mampu memberikan alternatif secara matang
29. terutama berkaitan dengan standar nilai yang di
kehendakinya. #KeluargaSakinah4
30. Karena itu, selama proses yg dilaluinya, hampir selalu
ditemukan berbagai perubahan, sesuai dengan tuntutan lingkungan tempat.
31. Di sinilah proses bimbingan itu diperlukan, terutama
dalam ikut menemukan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. #KeluargaSakinah4
32. Dalam kerangka seperti inilah, maka keluarga bisa
berperan sebagai lembaga yang membimbing dan mencerahkan, #KeluargaSakinah4
33. Karenanya, prkara penting yg saat ini mutlak dimiliki
keluarga muslim adalah agar semua berjalan sebagaimana fungsinya
#KeluargaSakinah4
34. Ayah/Suami bukan hanya berfungsi mencari nafkah, tetapi
wajib membina keluarga dg bimbingan Islam yg benar #KeluargaSakinah4
35. Menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan yg baik, tidak
berarti tanggungjawab orangtua mendidik anak menjadi hilang #KeluargaSakinah4
36. Ibu/Istri harus memfungsikan dirinya sebagai ibu (umm)
& pengatur rumah tangga (robbatul bayt) #KeluargaSakinah4
37. Hukum asal mendidik anak ada pada orangtuanya, bukan
lembaga pendidikan #KeluargaSakinah4
38. Lembaga pendidikan justru hanya membantu orangtua
mendidik anak-anaknya, jgn dibalik #KeluargaSakinah4
39. Karenanya, orangtua harus dengan sekuat tenaga bisa
mendidik anak2nya #KeluargaSakinah4
40. Dengan demikian, tentu mengharuskan para orangtua terus
belajar ttg Islam, tak boleh berhenti, hingga ajal menjelang #KeluargaSakinah4
41. Perkara penting lainnya adalah kualitas hubungan
komunikasi dengan keluarga #KeluargaSakinah4
42. perbaikilah prmasalahan keluarga kita, dg memulai
mmperbaiki hubungan & kualitas komunikasi dg anggota keluarga. #KeluargaSakinah4
43. Jadilah orang yg dg siapapun kita berhadapan, apalagi
dengan keluarga mereka semua merasa nyaman #KeluargaSakinah4
44. Orangtua harus menjadi tempat “curhat” yang menyenangkan
buat anak-anaknya #KeluargaSakinah4
45. Begitu pula komunikasi antara suami dan istri
#KeluargaSakinah4
46. Jangan sampai istri atau suami lebih nyaman komunikasi
dengan orang lain #KeluargaSakinah4
47. Jika ini terjadi, di sinilah bibit perselingkuhan
dimulai, naudzubillah #KeluargaSakinah4
48. Karenanya, orangtua harus benar2 bisa memahami apa
masalah & harapan anak2 yg sesungguhnya #KeluargaSakinah4
49. Begitupun halnya istri ataupun suami, harus bisa benar2
berkomunikasi serta memahami dg baik pasangan hidupnya #KeluargaSakinah4
50. Jika kita bisa menangkap & berkomunikasi baik dengan
anak2 & sluruh angg keluarga, itu sudah ½ dari solusi #KeluargaSakinah4
51. Komunikasi yang baik memang bukan satu-satunya solusi
masalah keluarga, #KeluargaSakinah4
52. tetapi seringkali, buruknya komunikasi menjadi sebab
masalah keluarga #KeluargaSakinah4
53. komunikasi akan berjalan dengan baik, jika antar anggota
keluarga memiliki kesamaan frekuensi #KeluargaSakinah4
54. frekuensi ttg apa? Diantaranya frekuensi ttg standar dlm
kluarga, standar baik-buruk, benar-salah, terpuji-tercela, #KeluargaSakinah4
55. jika semua anggota keluarga memiliki frekuensi yang
sama, insyaAllah akan mudah mengendalikan & mmbangun angg keluarga
#KeluargaSakinah4
56. bagaimana agar frekuensi anggota keluarga menjadi sama
& sejalan? #KeluargaSakinah4
57. jadikanlah rumah kita sebagai markaz dakwah; shalat
sunnah bersama, mengaji quran bersama & mengkaji Islam bersama #KeluargaSakinah4
58. Demikian bhsn kita pagi ini, semoga Allah swt mnjadikan
keluarga kita, kluarga bahagia di dunia dan jg di akhirat sana
#KeluargaSakinah4
Sunday, August 17, 2014
Uki Dan Baju Polisi
Hari ini Uki tampil beda. Juga mengandung surprise. Apa sebab? Ternyata dari salah satu seragam yang disediakan sekolahnya, ada satu yang berupa seragam polisi. Jadinya pagi ini saya panggil Uki dengan sebutan "Pak Polisi cilik". Baju polisinya jadikan Uki yang sudah ganteng itu semakin ganteng saja. Kepercayaan diri memang suka ikut terdongkrak dengan kostum yang gagah. SAya jadi ingat kalau di Jepang sana, seragam anak sekolah memang terlihat enak dilihat. Sepertinya diadopsi dari seragam angkatan laut Jepang.
Hari ini juga, saya sempatkan antar dan jemput pake motor. Kembali Si Supra Hijau keramat itu mengantar kami merajut masa depan. Motor Riwayat yang masih setia mendampingi keluarga kami sejak tahun 2000 lalu.
Ada rasa haru dan bangga yang menyeruak. Tapi ada juga skeptis. Ada rasa haru, karena anak keempat kami sudah mulai menjejak bangku sekolah. Tak terasa memang. Tahu-tahu anak-anak sudah pada besar. Walau Uki memulainya dari TK B, karena semula justru kami maunya langsung ke SD saja. Karena keinginan Uki yang kuat untuk sekolah akhirnya kami penuhi dengan memasukkan ke TK ABATA Mardhotillah. TK ini kami pilih karena beberapa pertimbangan. Pertama karena dekat rumah, sehingga hemat energi dan biaya. Tidak capek dan repot hanya sekedar untuk antar dan jemput. Kedua, guru-gurunya kami kenal baik. Ketiga, tidak mengajarkan calistung. TK ABATA menggunakan system Sentra.
Ada juga rasa bangga karena Uki termasuk anak yang mandiri. Tidak menyusahkan pihak orang tua. Karena tidak perlu repot menunggu di sekolah hingga jam pulang. Sejak hari pertama Uki sudah bisa ditinggal di kelas.
Tapi ada juga rasa skeptis dengan baju Polisinya itu. Saya khawatir ia dikecewakan dengan kenyataan di lapangan. Terutama kalau melihat bagaimana oknum polisi yang suka menilang di jalanan, kemudian menerima uang damai. Tapi...mungkin saya harus berfikir positif dulu. Sekarang biarkan Uki menikmati seragamnya yang gagah itu. Sambil berharap ia menyerap nilai-nilai positif dari seragamnya . Tentang sosok seorang polisi yang diamanahi sebagai pengayom masyarakat.
Wednesday, August 13, 2014
Pewarisan Dakwah dan Kedekatan Ayah-Anak
Keberlanjutan estafeta dakwah adalah salah satu isu penting yang selalu menyita perhatian para penyerunya. Memang mustahil sebuah misi besar luput dari agenda ini. Maka secara sadar tarbiyah-pun kemudian dijadikan tulang punggungnya. Jargon bahwa “Tarbiyah
memang bukan segalanya, tapi tanpa tarbiyah segalanya tak bisa kita raih” tentu
sudah kita akrabi sejak memasuki “lingkaran pekanan”, bukan?
Salah satu isu penting dalam tema pewarisan ini adalah bagaimana anak-keturunan para penyeru itu bisa menjadi pewarisnya. Bahkan para nabi mencontohkan dengan gamblang. Baik dalam doa. Juga dalam laku nyata. Bahwa pewaris paling dekat adalah anak-keturunan. Dan para da’i pun dambakan hal yang sama. Bahwa anak-keturunan mereka kelak adalah pembimbing ummat di masanya.
Salah satu isu penting dalam tema pewarisan ini adalah bagaimana anak-keturunan para penyeru itu bisa menjadi pewarisnya. Bahkan para nabi mencontohkan dengan gamblang. Baik dalam doa. Juga dalam laku nyata. Bahwa pewaris paling dekat adalah anak-keturunan. Dan para da’i pun dambakan hal yang sama. Bahwa anak-keturunan mereka kelak adalah pembimbing ummat di masanya.
Maka, sebuah kemestian sekaligus tanda berjalannya pewarisan perjuangan kalau anak kader sudah bisa ikut halaqah. Kemudian mulai muncul generasi penghafal Qur'an. Diantara mereka banyak tercatat yang berprestasi di bidangnya dengan tetap menjaga keshalihan. Mulai aktif beramal jama’i. Aktif di organisasi. Sudah akrab dengan baksos. Sudah muncul empati hingga sediakan tabungan buat sahabatnya di Palestina. Ada juga yang sudah akrab dengan demo :D
Tentu, disamping optimisme yang menyeruak tatkala menyaksikan parade success story anak-anak kader di atas, para pejuang dakwah tetap wajib mencermati fakta-fakta yang berbeda. Bahwa ternyata tidak otomatis anak-anak kader dakwah mampu mewarisi perjuangan abi-uminya. Diantaranya ada
anak kader yang terlibat kenakalan, misal tawuran atau bahkan tindak kejahatan. Wajar sebagai jamaah manusia. Walaupun saya kira relatif jarang terjadi.
Tetapi, yang saya coba angkat bukan kasus "luar biasa" di atas. Saya lebih tertarik dengan kasus yang biasa terjadi dan sering tidak diantisipasi. Karena dianggap tidak berbahaya atau "masih bisa diupayakan". Padahal sudah masuk ke ruang "kegagalan regenerasi atau pewarisan". Yaitu, ketika :
Tetapi, yang saya coba angkat bukan kasus "luar biasa" di atas. Saya lebih tertarik dengan kasus yang biasa terjadi dan sering tidak diantisipasi. Karena dianggap tidak berbahaya atau "masih bisa diupayakan". Padahal sudah masuk ke ruang "kegagalan regenerasi atau pewarisan". Yaitu, ketika :
- anak kader belum juga aktif dalam dakwah walau sudah kuliah
- anak kader belum menikmati agenda tarbiyah walau abi umi-nya para jagoan halaqah
- anak kader tidak jadi penggerak anak-anak sebayanya, justru cenderung cuek dan enggan bergaul.
- aktivitas anak kader sama dengan anak-anak pada umumnya.
Tidak ada beda. Hanya jadi “anak baik-baik” saja.
- Anak kader justru ada yang phobia mendengar istilah "halaqah" atau "liqo". Karena mereka merasa ayah bundanya telah “dirampas” oleh banyaknya agenda dakwah.
Tentu akan banyak faktor penyebabnya. Namun, di sini saya tidak akan jadikan faktor lingkungan atau faktor luar lainnya sebagai objek bahasan. Walaupun kerap jadi faktor yang berpengaruh. Karena sudah mafhum bahwa benteng akhlaq anak ada di keluarga, maka saya persempit pembahasan dan langsung ke peran orang tua. Saya juga tidak akan bicara konsep yang memerlukan analisis mendalam dan referensi bertumpuk. Saya hanya berbagi dari sedikit renungan selintas dari seorang ayah, yang merasa mengalami kegagalan di sana sini.
To the point ya, kalau terjadi hal-hal di atas, dan faktor keluarga jadi fokus permasalahan, arah jempol kita lantas diarahkan ke siapa? ke AYAH atau ke IBU? ABI atau UMI-kah sebagai sebab?
Kenapa harus memilih salah satu? Memang bisa sih kedua-duanya. Tetapi ada "sesuatu" yang menjadikan saya tertarik mengajukan pertanyaan pilihan di atas. Bahwa ada yang paling bertanggung jawab pada munculnya masalah pada proses regenerasi dakwah di keluarga kader.
To the point ya, kalau terjadi hal-hal di atas, dan faktor keluarga jadi fokus permasalahan, arah jempol kita lantas diarahkan ke siapa? ke AYAH atau ke IBU? ABI atau UMI-kah sebagai sebab?
Kenapa harus memilih salah satu? Memang bisa sih kedua-duanya. Tetapi ada "sesuatu" yang menjadikan saya tertarik mengajukan pertanyaan pilihan di atas. Bahwa ada yang paling bertanggung jawab pada munculnya masalah pada proses regenerasi dakwah di keluarga kader.
Nah, kalau saya sendiri yang menjawab, maka jempol kanan saya akan saya
arahkan ke para AYAH. Ke para ABI!
Koq para ayah?
Hemat saya, masalah di atas memang pantasnya kita arahkan ke para ayah untuk dicari jawabannya. Ini bukan berarti saya suami yang takut istri atau
ingin dipuji para ummahat ya… Jawaban saya tersebut karena saya seorang ayah. Terutama lebih karena faktor ayah sebagai pemimpin keluarga. Sebagai pemimpin maka ia harus tanggung jawab atas masalah yang ada di keluarganya.
Disamping karena posisi pemimpin itu, juga ada teks hadits yang dengan jelas menyatakan kalau pihak yang sebabkan anak yang lahir nan fitri itu jadi Yahudi, Nasrani atau Majusi adalah para bapak. Coba saja cek readsional hadits " Kullu mauludin yuuladu 'alal fithrah.... fa abawahu yuhawwidanihi, aw yunashshiraanihi aw yumajjisanihi...". Siapa yang sebabkan sang anak jadi menyimpang dari fitrahnya? para bapak bukan?
Juga, bukankah dialog parenting di Al Qur'an lebih sering dimuat antara ayah dan anak? Ada Ibrahim dan Isma'il. Ada Yusuf dan Ya'qub. Ada Keluarga Imron. Ada Nuh dan anaknya. Ada Lukman dan puteranya.
Maka tak salah kalau salah satu alasan keberadaan ayah adalah pembimbing anak-anaknya. Sehingga selamat agamanya. Itulah yang saya pernah dengar dari asatidz yang concern menyadarkan pentingnya pengasuhan yang lengkap oleh ayah dan bunda.
Di sisi lain, para Bunda atau Ummahat menurut saya relatif sudah memenuhi kewajibannya sebagai ibu. Peran melahirkan dan merawat anak yang ekstra berat itu sudah mereka tunaikan bersamaan dengan fungsi madrasatul-ula. Peran ibu selanjutnya memang lebih kepada mengupayakan tempat dan suasana nyaman bagi tumbuh kembang fisik dan kejiwaannya. Lebih ke fungsi hadhonah. Sedangkan pada fungsi pengarahan dan bimbingan, di situlah peran ayah mesti maksimal.
Maka kehilangan sosok ayah dalam perjalanan perkembangan anak, akan akibatkan anak kehilangan kesempatan memperoleh pengarahan dan bimbingan yang bernilai mahal. Ia berpotensi kehilangan pegangan dan orientasi. Sebab ia harus cari sendiri kelak mau jadi Apa dan Siapa serta mau ke Mana. Kecenderungan sekarang, para ayah memang lebih memilih mendelegasikan pembinaan anaknya ke sekolah. Bahkan secara penuh. Beruntung kalau sekolahnya bagus pembinaannya. Kalau tidak? alamat susah jawaban ortu di yaumil hisab.
Kemudian, bila dalam proses pengasuhan anak yang berjalan dominasi peran Ibu, maka sikap ibu yang cenderung penuh welas asih dan dominan emosi, hati-hati dan protektif akan cenderung jadikan anak kelak kurang percaya diri, sulit mandiri dan kurang berani mengambil resiko. Misal, seorang anak yang ingin belajar naik pohon, atau aktivitas bertualang lainnya yang mengandung tantangan akan lebih pas kalau dibimbing ayahnya.
Hemat penulis, di sinilah titik temuanya antara kegagalan pengasuhan oleh ayah dan gagalnya pewarisan dakwah. Logika sederhananya, bagaimana anak mau mengikuti jejak orang tua kalau jarak psikologisnya berjauhan? Bagaimana sang anak menauladani ayah, kalau jarang bertemu dan berinteraksi?
Pertanyaannya, apakah mengasuh anak itu begitu susahnya sehingga banyak ayah yang luput dan abai dari peran ini?
Disamping karena posisi pemimpin itu, juga ada teks hadits yang dengan jelas menyatakan kalau pihak yang sebabkan anak yang lahir nan fitri itu jadi Yahudi, Nasrani atau Majusi adalah para bapak. Coba saja cek readsional hadits " Kullu mauludin yuuladu 'alal fithrah.... fa abawahu yuhawwidanihi, aw yunashshiraanihi aw yumajjisanihi...". Siapa yang sebabkan sang anak jadi menyimpang dari fitrahnya? para bapak bukan?
Juga, bukankah dialog parenting di Al Qur'an lebih sering dimuat antara ayah dan anak? Ada Ibrahim dan Isma'il. Ada Yusuf dan Ya'qub. Ada Keluarga Imron. Ada Nuh dan anaknya. Ada Lukman dan puteranya.
Maka tak salah kalau salah satu alasan keberadaan ayah adalah pembimbing anak-anaknya. Sehingga selamat agamanya. Itulah yang saya pernah dengar dari asatidz yang concern menyadarkan pentingnya pengasuhan yang lengkap oleh ayah dan bunda.
Di sisi lain, para Bunda atau Ummahat menurut saya relatif sudah memenuhi kewajibannya sebagai ibu. Peran melahirkan dan merawat anak yang ekstra berat itu sudah mereka tunaikan bersamaan dengan fungsi madrasatul-ula. Peran ibu selanjutnya memang lebih kepada mengupayakan tempat dan suasana nyaman bagi tumbuh kembang fisik dan kejiwaannya. Lebih ke fungsi hadhonah. Sedangkan pada fungsi pengarahan dan bimbingan, di situlah peran ayah mesti maksimal.
Maka kehilangan sosok ayah dalam perjalanan perkembangan anak, akan akibatkan anak kehilangan kesempatan memperoleh pengarahan dan bimbingan yang bernilai mahal. Ia berpotensi kehilangan pegangan dan orientasi. Sebab ia harus cari sendiri kelak mau jadi Apa dan Siapa serta mau ke Mana. Kecenderungan sekarang, para ayah memang lebih memilih mendelegasikan pembinaan anaknya ke sekolah. Bahkan secara penuh. Beruntung kalau sekolahnya bagus pembinaannya. Kalau tidak? alamat susah jawaban ortu di yaumil hisab.
Kemudian, bila dalam proses pengasuhan anak yang berjalan dominasi peran Ibu, maka sikap ibu yang cenderung penuh welas asih dan dominan emosi, hati-hati dan protektif akan cenderung jadikan anak kelak kurang percaya diri, sulit mandiri dan kurang berani mengambil resiko. Misal, seorang anak yang ingin belajar naik pohon, atau aktivitas bertualang lainnya yang mengandung tantangan akan lebih pas kalau dibimbing ayahnya.
Hemat penulis, di sinilah titik temuanya antara kegagalan pengasuhan oleh ayah dan gagalnya pewarisan dakwah. Logika sederhananya, bagaimana anak mau mengikuti jejak orang tua kalau jarak psikologisnya berjauhan? Bagaimana sang anak menauladani ayah, kalau jarang bertemu dan berinteraksi?
Pertanyaannya, apakah mengasuh anak itu begitu susahnya sehingga banyak ayah yang luput dan abai dari peran ini?
Menurut saya, jawabannya malah sebaliknya. Justru karena pengasuhan oleh ayah ini mudah, sederhana bentuknya, dan tak perlu teori yang canggih yang menyebabkan para ayah banyak yang menyepelekan. Dianggap tidak penting. Bahkan dianggap berpotensi merusak wibawa.
Mau bukti? coba jawab pertanyaan di bawah ini :
Mau bukti? coba jawab pertanyaan di bawah ini :
-
Siapa yang mendampingi Sang Istri di ruang persalinan saat melahirkan anak?
-
Siapa ayah yang bisa memandikan bayinya?
-
Siapa yang sering kelihatan saat mendorong
kereta bayi saat pagi : ibunya? kakaknya yang perempuan? neneknya? pembantu? atau ayahnya?
-
Siapa ayah yang tak sungkan nyebokin anak kalau lagi
BAB?
-
Siapa ayah yang suka gantikan pokok atau pampers
saat tidur?
-
Siapa yang paling banya
k dialog dengan anak?
k dialog dengan anak?
-
Apakah para ayah melihat sendiri kapan anaknya
mulai bisa ngomong "ayah"? Atau kapan saat mulai bisa berjalan
sendiri? Atau kapan saat anaknya bisa
mengayuh sepeda sendiri tanpa bantuan roda atau tanpa dituntun?
-
Siapa yang buatkan susu saat malam anaknya
nangis?
Peran minimal ayah dalam kegiatan di atas, bisa jadi indikasi kerenggangan hubungan ayah-anak. Awal gagalnya pengasuhan oleh ayah. Silakan renungkan.
Apakah saya mengajak para ayah jadi baby sitter? Tentu tidak. Kita sedang berbicara tentang interaksi yang dekat dan hangat dengan anak. Kalau kita sayang anak, kenapa bau BAB dan BAK menghalangi dari kedekatan dengan mereka? Toh ini juga tidak perlu setiap saat. Kadang-kadang saja. Terpenting adalah kesediaan dan antusiasme. Sang Bunda juga faham. Tapi kesediaan Ayah untuk ikut terlibat adalah hadiah terindah bagi anaknya.
Lanjut ya, coba para ayah renungkan lagi dengan baik pertanyaan
di bawah ini
-
Siapa yang mengambil buku raport saat anaknya
kenaikan kelas?
-
Siapa yang mengenalkan nama pohon, hewan,
benda-benda di sekitar rumah?
-
Apakah anak merasa sungkan ngomong dengan ayah?
-
Apakah saat ayah pulang anak sambut dengan
girang. Dan ayah menjawabnya dengan antusias?
-
Saat bermain dengan anak, apakah ayah ikut larut
dalam permainan atau hanya melihat dari jauh?
-
Siapakah yang menemani anak bikin PR?
-
Pernahkah ayah main hujan-kehujanan sama
anak-anak?
-
Apakah suka mengajak jalan berdua satu-satu
secara bergiliran ke semua anaknya?
-
Apakah ketika anak perempuan tiba-tiba ketahuan
sudah punya pacar dan sang ayah membiarkan dan anggap hal biasa?
-
Lebih banyak mana, kalimat perintah dan larangan
yang harus direspon dengan sami’na wa atho’na atau kalimat pertanyaan-pertanyaan
yang merangsang daya kritis?
Fakta yang saya jumpai sendiri. Di sekolah anak-anak saya, yang mengambil raport mayoritas ibu-ibu. Padahal biasanya hari sabtu. Saat libur kerja. Mestinya para ayah bisa mengikuti. Juga saat ada kajian parenting, mayoritas ibu-ibu yang hadir. Anggota komite sekolah juga kebanyakan ibu-ibu. Apalagi kalau melihat siapa guru-guru TK, jarang ditemui bapak-bapak.
Pada kondisi inilah kemudian, berlaku sunnatullah. Bagaimana mengajak anak kalau sang ayah tidak dekat dengan anak. Bagaimana tersentuh hatinya sang anak, kalau dari sang ayah sikapnya terus menjauh dan cuek dengan sesuatu yang menarik di mata anak. Bagaimana anak merasa penting, kalau agenda bisnis dan dakwah sang ayah dipandang sudah mengalahkan agenda bermain sang anak.
Fakta yang saya jumpai sendiri. Di sekolah anak-anak saya, yang mengambil raport mayoritas ibu-ibu. Padahal biasanya hari sabtu. Saat libur kerja. Mestinya para ayah bisa mengikuti. Juga saat ada kajian parenting, mayoritas ibu-ibu yang hadir. Anggota komite sekolah juga kebanyakan ibu-ibu. Apalagi kalau melihat siapa guru-guru TK, jarang ditemui bapak-bapak.
Pada kondisi inilah kemudian, berlaku sunnatullah. Bagaimana mengajak anak kalau sang ayah tidak dekat dengan anak. Bagaimana tersentuh hatinya sang anak, kalau dari sang ayah sikapnya terus menjauh dan cuek dengan sesuatu yang menarik di mata anak. Bagaimana anak merasa penting, kalau agenda bisnis dan dakwah sang ayah dipandang sudah mengalahkan agenda bermain sang anak.
Kekhawatiran hilangnya wibawa karena terlalu dekat dengan anak sempat muncul juga dalam diri saya. Saat
coba untuk hilangkan jarak dengan anak-anak. Sampai kemudian kedekatan itu
memang terbangun. Akrab seperti dengan teman. Ada anggota keluarga yang ingatkan “jangan
terlalu dekat dengan anak, nanti susah diatur dan bisa melunjak”. Saya hampir terpengaruh. Tetapi akhirnya waktu membuktikan, bahwa wibawa orang tua itu
muncul dari kasih sayang yang ditunjukkan. Muncul dari kesungguhan mencintai
mereka. Muncul dari payahnya pengorbanan membesarkan mereka. Muncul dari kelelahan
mencari nafkah keluarga. Sepertinya mereka juga tidak membutuhkan ayah yang berwibawa dan disegani. Mereka lebih butuh Ayah yang mau merendah, mau bermain. Ada di dekatnya
Hingga suatu saat....
Datanglah perpisahan sementara. Dua anak dari keluarga berbeda akan masuk pesantren. Ternyata anak dari keluarga yang "lapar ayah" (father hunger) berbeda dengan anak yang "kenyang ayah". Anak yang sudah kenyang dengan kebersamaan bersama sang ayah, tentu merasa kehilangan. Namun segera sadar kalau ia sedang masuk ke tempat menempa diri. Iapun bersemangat mengasah ilmu di tempat barunya. Sedangkan anak satunya yang "lapar kebersamaan" dengan ayahnya, merasa masuk boarding adalah seperti dibuang saja. Ia meronta dan mau berontak. Tapi tak berdaya. Sang ortu dianggap lepas tanggung jawab. Di pesantren ia merasa dipenjara.
Datanglah perpisahan sementara. Dua anak dari keluarga berbeda akan masuk pesantren. Ternyata anak dari keluarga yang "lapar ayah" (father hunger) berbeda dengan anak yang "kenyang ayah". Anak yang sudah kenyang dengan kebersamaan bersama sang ayah, tentu merasa kehilangan. Namun segera sadar kalau ia sedang masuk ke tempat menempa diri. Iapun bersemangat mengasah ilmu di tempat barunya. Sedangkan anak satunya yang "lapar kebersamaan" dengan ayahnya, merasa masuk boarding adalah seperti dibuang saja. Ia meronta dan mau berontak. Tapi tak berdaya. Sang ortu dianggap lepas tanggung jawab. Di pesantren ia merasa dipenjara.
Di sebuah tempat tak jauh dari saya. Sebuah keluarga kader. Sungguh sedang berbahagia. Seorang
anaknya yang ikhwan sebentar lagi menikah dengan akhwat yang juga kader dakwah. Sedangkan
adiknya yang akhwat juga sudah jadi aktivis di kampusnya. Setelah saya cari tahu apa rahasianya, rupanya benar, kedekatan dan keakraban memang tercipta di keluarga
itu. Sang Ayah rutin jenguk anaknya sepekan sekali ke kota Kembang. Memastikan
kondisinya baik-baik saja. Juga karena ia merasa tidak bisa jauh dari sang
anak. Maka saat SMP dan SMA ia belum rela melepas ke boarding school.
Tetapi, sebuah keluarga kader yang lain, sungguh sedang gulana. Anak
perempuannya sudah mulai kenal pacaran. Sedangkan halaqah belum jadi minatnya.
Apatah lagi jadi aktivis rohis. Kemudian, terkuaklah jauh jarak antara
ayah dan anak. Sang Ayah tak hirau dengan buku raport anaknya. Tak mau tahu. Ia
merasa cukup dengan peran pencari nafkah. Bagai ATM saat anak butuh uang. Ia sudah merasa
cukup dengan carikan sekolah yang Islami berlabel “Boading School” dan “IT”. Saat
karakter anaknya tak sesuai dengan kriteria ideal, maka iapun menyalahkan
sekolah.
Karenanya, saya yakin, bahwa kedekatan seorang ayah-kader-dakwah dengan anaknya adalah bagian dari proses pewarisan dakwah. Maka, mulai sekarang hendaknya para ayah tidak menganggap remeh aktivitas bermain dengan anak dan segala yang membangun kedekatan dengan mereka. Karena ia sedang melahirkan pejuang-pejuang masa depan. Jangan sia-siakan kesempatan bermain bersama
anak-anak. Berceritalah. Dengarkanlah mereka. Tilawah bersama. Ajak mereka bercanda. Main
layangan. Main hujan-hujanan. Berkebun. Bersepeda bareng. Jalan ke sawah atau selfie bareng di bawah pohon. Suporter saat anak ikut lomba. Mengambil raport saat kenaikan kelas. Menghibur anak tatkala bersedih.
Kabar gembiranya, tidak ada kata terlambat untuk memulai. Walau anak kita sudah SMP, SMA, bahkan kuliah. Lakukan saja upaya untuk menjadikan ayah kembali dekat dengan anak. Just do it! Jangan menunggu hingga anak kita membuat puisi begini :
Kabar gembiranya, tidak ada kata terlambat untuk memulai. Walau anak kita sudah SMP, SMA, bahkan kuliah. Lakukan saja upaya untuk menjadikan ayah kembali dekat dengan anak. Just do it! Jangan menunggu hingga anak kita membuat puisi begini :
Aku kehilangan
Tapi tidak tahu apa yang hilang
Aku kehilangan
di setiap berangkat sekolah
mungkin inilah kiranya
apa yang dikatakan bunda
ayah ada
ayah tiada *)
*) Puisi dikutip dari buku "Ayah Ada Ayah Tiada" karya Irwan Rinaldi.
Subscribe to:
Posts (Atom)
KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN
Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...
-
"𝑀𝑜𝑚𝑒𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑖𝑛𝑑𝑎ℎ 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑚𝑎𝑛𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑏𝑒𝑟𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑘𝑒 𝑛𝑒𝑔𝑒𝑟𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖...
-
Sejak akhir Maret 2020 di lingkungan RT sudah berlangsung kegiatan jimpitan. Menabung beras dan uang untuk membantu keluarga terdampak Covid...
-
Momennya sederhana. Tapi bagi saya ada tambahan "tum"-nya. Jadi momentum. Dua keluarga bertemu. Keluarga saya dan keluarga Pak Ar...