Bayangkan, sebuah solusi yang menjawab dua persoalan sekaligus dihadirkan di hadapan kita! Apalagi ini sangat mendasar. Pertama tentang kemandirian ekonomi keluarga. Kedua tentang model pendidikan yang terjangkau oleh semua orang. Diringkas : pendidikan yang memandirikan.
Sebelumnya, memang ada yang terdengar lebih menarik : pendidikan yang memerdekakan. Tetapi rasanya ini lebih jelas dan terukur : pendidikan yang memandirikan. Walaupun ada juga titik temunya. Karena kemerdekaan yang hakiki adalah ketika kita bisa mandiri. Istilah Bung Karno-nya : Berdikari. Berdiri diatas kaki sendiri.
Awalnya, adalah virus Covid-19 yang menelanjangi kelemahan kita. Ternyata betapa rentannya kita ini. Lihat saja daya tahan ekonomi kita. Ketika kita tidak memiliki penghasilan kecuali dari pekerjaan, jasa atau dari perdagangan, ternyata kita dihadapkan pada jurang kemungkinan yang menakutkan. Ketika interaksi terbatasi, lalu bertransaksi dengan orang lain terhambat. Ternyata kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kita terasa begitu lemahnya.
Lalu pandangan saya mengarah ke anak-anak kita yang dididik di sekolah dan kampus. Apa solusi yang anak-anak kita sodorkan?
Entah mata saya yang buram. Tapi saya belum melihat jalan terang itu. Saya belum melihat gerakan masif para pemuda ke arah sana. Saya malah melihat mereka yang merasa jadi pahlawan dengan cara "rebahan".
Padahal FAO sudah beri alarm krisis pangan dunia. Lendo Novo pegiat Sekolah Alam mulai berteriak, "Diet beras dan bangun keragaman Pangan Nusantara!"
Entah mata saya yang buram. Tapi saya belum melihat jalan terang itu. Saya belum melihat gerakan masif para pemuda ke arah sana. Saya malah melihat mereka yang merasa jadi pahlawan dengan cara "rebahan".
Padahal FAO sudah beri alarm krisis pangan dunia. Lendo Novo pegiat Sekolah Alam mulai berteriak, "Diet beras dan bangun keragaman Pangan Nusantara!"
Menariknya, wabah Covid-19 sendiri justru memunculkan satu institusi yang selama ini diabaikan. Institusi di mana kedaulatan ekonomi seharusnya terbangun. Tempat di mana pendidikan yang utama semestinya berlangsung.
Institusi itu bernama Keluarga!
Maka inilah tema kunci yang kita coba sinergikan : ekonomi, pendidikan, dan keluarga.
Tetapi, rasanya ada pertanyaan yang menyeruak. Bagaimana kita para orang tua menjalankannya?
Lalu bagaimana dengan tugas dan fungsi lain keluarga, bagaimana menyeimbangkannya?
Salah satu isu penting ketika menggulirkan pendidikan berbasis keluarga adalah tentang mengaktifkan kesadaran dan peran aktif orangtua.
Lalu bagaimana dengan tugas dan fungsi lain keluarga, bagaimana menyeimbangkannya?
Salah satu isu penting ketika menggulirkan pendidikan berbasis keluarga adalah tentang mengaktifkan kesadaran dan peran aktif orangtua.
Kabar baiknya, secara fitrahnya semua orang tua pasti dimampukan mendidik. Lewat naluri atau fitrah keayahbundaan. Dua kekuatan hebat ini adalah energi tersembunyi yang selama ini menganggur :
Pertama, ayah sebagai penanggung jawab pendidikan anak. Ia sebagai penentu visi, misi dan strategi pendidikan. Dengan rasionalitasnya. Dengan wawasan dunia luarnya.
Kedua, ibu sebagai pendamping harian pendidikan anak. Lewat kebutuhan bicaranya. Kemampuan multitaskingnya. Kelembutannya. Empatinya.
Lalu rumah sendiri adalah alam kecil yang bisa dijadikan media belajar. Lalu lingkungan sekitar sebagai laboratorium. Juga ajang pembuktian dan tempat mencari nara sumber belajar. Adanya internet semakin membuat optimisme kita. Membuat kita saling terhubung. Terakses ke sumber informasi tanpa batas.
Sebelum ke bagaimana mendidik, mari kita bicara latar dan fakta dulu.
Dunia nyata anak kita ternyata berbeda dari dunia versi sekolah yang selama ini mereka pelajari. Dunia yang mereka terima dari guru, adalah yang idealis, terstruktur, teoritis. Sedangkan dunia di atas tanah itu realistis, seringkali acak, kerap pragmatis. Banyak penyimpangannya dari idealita.
Itulah yang menyebabkan anak kita hidup di awang-awang. Tidak menginjak bumi.
Anak kitakah itu, saat Covid-19 begini malah cuek, tidak ada sense of crisis, lebih senang dengan hal remeh ketimbang melakukan hal produktif, lalu terobsesi kayak lewat jumlah subscribers Youtube ala Atta Halilintar dan Ria Ricis. Seharian tenggelam di layar gadget. Padahal kebanyakan masalah nyata sehari-hari tidak bisa diselesaikan hanya dengan sapuan jari di layar hape.
Sebagian lagi, sibuk dengan tugas-tugas sekolah dan kampus. Membuat para bunda belingsatan dengan pendampingan tugas anak. Yang mahasiswa tenggelam di kamar dengan tugas dan perkuliahan online. Ada di rumah tapi tak faham apa yang terjadi di rumahnya.
Kenapa tidak menjadikan isu kekinian dan masalah di depan mata dijadikan tema pembelajaran?
Misalnya, membuat bahan makanan yang akan mereka makan sehari-hari. Sekalian untuk siaga antisipasi krisis? Mampukah anak-anak kita mengusahakan sendiri?
Kenapa tidak menjadikan isu kekinian dan masalah di depan mata dijadikan tema pembelajaran?
Misalnya, membuat bahan makanan yang akan mereka makan sehari-hari. Sekalian untuk siaga antisipasi krisis? Mampukah anak-anak kita mengusahakan sendiri?
Jadi, para ayah dan bunda...
Sekaranglah, waktunya anak-anak kita memahami proses dan pengorbanan. Buka mata mereka tentang mata rantai yang panjang serta proses yang melelahkan bagaimana makanan itu bisa nyampe ke mulut mereka.
Sekaranglah, waktunya anak-anak kita memahami proses dan pengorbanan. Buka mata mereka tentang mata rantai yang panjang serta proses yang melelahkan bagaimana makanan itu bisa nyampe ke mulut mereka.
Mereka yang selama ini tahunya sudah dalam bentuk pecel lele, sekarang mereka harus mampu mengembangbiakan ikan lele. Memeliharanya sejak masih kecil hingga besar. Lalu mengolahnya sampai dikunyah di mulut. Proses mulai penyiapan kolam, penyediaan bibit, cari pakan, perawatan harian, dll.
Ini contoh sederhana solusi ekonomi keluarga sekaligus media anak mempelajari aspek ilmu pengetahuan yang terlibat di dalamnya
Sebetulnya contoh di atas adalah bagian dari pembelajaran tematik menurut kurikulum 13. Di mana setiap siswa menguraikan dari peristiwa yang dialami ke dalam berbagai disiplin ilmu yang saling berkaitan.
Saat beternak lele maka kita bicara tentang biologi bicara tentang klasifikasi makhluk hidup. Bicara tentang hewan vertebrata bertulang belakang. Bicara tentang bagaimana budidaya ikan. Bicara bagaimana membuat pakan ikan, lalu bagaimana menghitung biaya beternak.
Di akhir proses dihitung berapa keuntungan yang diperoleh. Ini matematika, saat menghitung berapa rata-rata waktu yang diperlukan untuk bisa panen.
Ketika kelebihan hasil lalu bisa dijual ini, maka ini bicara marketing yang selama ini mereka hanya belajar secara artifisial bernama marketing day.
Ada banyak tema lain yang bisa anak-anak kita lakukan di rumah. Bukankah ada banyak karya besar seperti Amazon, Apple, Disney, Hewlett-Packard, Google, Mattel, Harley-Davidson yang berasal dari garasi rumah?
Sekali lagi…
Pendidikan sesungguhnya adalah pendidikan yang memberikan solusi. Tidak hanya memberikan teori.
Jadi ketika sekarang kita dihadapkan pada dua permasalahan yaitu masalah ekonomi dan masalah pendidikan saat ini, apa solusi yang disodorkan anak-anak kita?
Rupanya saat Covid-19 inilah momentum besar kita untuk merekonstruksi kembali konsep pendidikan yang selama ini terlanjur mendominasi dan dianggap sudah final.
Ingin tahu kelanjutannya?
Ikuti terus serial tulisan ini...