DILEMA CORONA



Dunia memang sedang di reset. Termasuk keluarga saya.

Tak terbayangkan sebelumnya, sejak pertengahan Maret 2020 sejak corona mulai menyapa negeri ini, kami sudah melakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Dimana saya melarang anggota keluarga saya untuk bepergian. Kecuali keperluan mendesak. 

Biasanya saya atau istri yang pergi keluar, karena kalau anak-anak yang berangkat suka agak ceroboh. Itupun dengan protap waspada dan pencegahan, pake masker, dan saat pulang langsung cuci tangan. Kalau bawa uang tunai langsung di steam di atas kompor atau dibasuh dengan sabun. Jadinya interaksi kami dengan tetangga sangat minimalis.

Sholat berjamaah pun yang biasanya kami lakukan bersama anak laki-laki saya itu juga di off-kan dulu. Saya memang mengambil opsi fiqih yang untuk sementara tidak berjamaah di masjid selama wabah. Argumen atas pilihan ini sudah banyak bertebaran di berbagai media, jadi tidak perlu saya jelaskan lagi.

Jadi  kalau saya menyerukan orang lain untuk "di rumah saja", saya memang sudah memulai. Sejak awal wabah mulai melanda Jakarta itu. Dan Karawang dekat Jakarta. Apalagi Aa Gym di Bandung di waktu itu sudah mulai me-lockdown masjid legendaris Darut Tauhid.

Begitupun ketika sebagai keluarga Masjid BM, di awal-awal saya sudah menyampaikan ke ketua DKM bahwa pendapat fiqih yang saya pegang adalah mengambil rukhshah untuk berjamaah di rumah, juga dengan tujuan bahwa saya tidak ingin menulari yang lain. Jadi lebih dari sekedar mencegah dari ditulari virus.

Jadi kalau (naudzubillah) ada yang terkena covid19 di blok saya, saya punya keyakinan itu bukan tertular dari keluarga saya. Karena praktis keluarga saya sudah  PSBB secara mandiri. Bahkan dari tetangga kiri kanan. 

Bahkan saya sangat disiplin. Sampai anak saya yang besar pun yang laki-laki, ketika sebentar saja keluar lebih dari yang keperluan, sepulangnya saya marahi. Saya bilang "Kamu sudah membahayakan nyawa keluarga!" Padahal tidak biasanya saya bersikap keras seperti itu.

Pada saat yang bersamaan, saya berusaha tidak membantah pendapat fiqh yang berseberangan dengan pilihan saya. Saya hanya berdiskusi sebentar di grup pengurus DKM. 

Walaupun di grup WA Jamaah Masjid BM kerap muncul pendapat yang mendukung  agar tetap berjamaah di masjid, ya nggak apa-apa. Saya menghargai itu sebagai sebuah pendapat  yang sangat mungkin untuk berbeda.

Saya kalau ada info yang masih debatable biasanya saya sampaikan di grup pengurus DKM. Kalau ada yang lebih sensitif saya sampaikan ke Ketua DKM. Langsung via Japri. Seperti saat Masjid Agung Karawang ditutup untuk sholat jamaah. Karena bagi saya, menyampaikan informasi sensitif begini ke grup WA  jamaah Masjid, itu sama dengan ngajak ribut. Sedangkan kalau di sampaikan di grup pengurus masih berpeluang menjadi diskusi.

Kemudian tentang upaya jaga jarak sebagai cara pokok mencegah penularan. Ada beberapa yang saya catat di bawah ini...

Saya pikir pengurus DKM sudah maksimal dalam  menjaga agar di dalam masjid agar jamaah bisa jaga jarak.  Juga tentang kesterilan tempat. Tetapi memang masih ada bolongnya. Saat salat Jumat dua pekan lalu di mana di lantai 2 masih terjadi kerumunan. Baik saat duduk dan sholat maupun saat hendak keluar ruangan masjid. Anak-anak dan remaja memang yang masih sulit disiplin. 

Masalahnya, satu saja ada bolong, maka semua upaya yang lain (desinfectan, masker, shaff dibuat rengang, karpet digulung, ada tempat cuci tangan) bisa sia-sia.

Kemudian, ada lagi hal yang tidak kita sadari. Apa itu?

Bahwa  efek dari sikap keukeuh tetap meramaikan masjid walaupun sudah ada himbauan tutup masjid bagi daerah zona merah, rupanya ini berimbas pada sikap generasi muda yang cenderung menganggap enteng wabah korona. Kok bisa?

Pekan lalu saya bersama Pak RW mendatangi anak-anak muda yang suka nongkrong di Kafe J**n. Kami menjelaskan sewajarnya dan mereka sepakat untuk tidak nongkrong. Setelah itu juga ada Binwas ikut menegaskan. 

Tetapi apa yang terjadi?
Ternyata mereka tetap saja nongkrong, berkerumun. Kafe J**n tetap ramai saat malam hari. Prinsip jaga jarak benar-benar dikacangin. Dikentutin.

Ada pembicaraan di beberapa orang untuk melaporkan ke Babinsa atau ke Binwas. Biar  ada efek jera, sepertinya perlulah ditangkap salah satunya atau Si U** nya sekalian. Toh deliknya sudah jelas. Kalau mau operasi tangkap tangan juga gampang, tiap malam ramai nongkrong.

Tapi, saya jadi teringat saat diskusi dengan mereka, bahwa yang membuat mereka pada nongkrong adalah :

Pertama, karena mereka bosan di rumah. Mereka cari tempat buat menghilangkan stress. Ketemunya ya nongkrong di Kafe J**n itu."Biar imunitas terjaga," kata mereka.

Ada benarnya juga sih. Tapi sikap itu jelas hanya lari dari masalah. Bukan menyelesaikan masalah, seharusnya mereka mencari cara bagaimana agar tidak bosan saat di rumah. Sebenarnya banyak cara kalau mereka mau sedikit kreatif.

Kedua, mereka ternyata meniru bapak-bapak seniornya.
Benar, mereka ternyata  meniru sikap para bapak yang cenderung melakukan pelanggaran terhada upaya mencegah penularan virus.

Misalnya,  mereka beralasan bahwa saat Jumatan banyak yang dari luar Blok yang ikut. Tidak terfilter oleh DKM. Dan ini menjadi alasan mereka untuk membenarkan tindakan nongkrong di warung. "Kan itu juga bentuk kerumunan, kenapa orang luar blok T boleh ikut jumatan di sini?" kata mereka.

Juga, mereka merujuk pada bapak-bapak yang suka nongkrong di bawah gardu listrik RT 5, juga di RT 07 dekat Catering. Itu dijadikan alasan mereka untuk nongkrong juga. "Jadi kalau kami para remaja  itu dilarang nongkrong, maka bapak bapak itu juga harusnya dilarang nongkrong juga, donk!"

Artinya bahwa setiap sikap dan tingkah kita para orang tua  itu dilihat dan mempengaruhi persepsi dan sikap orang lain. Terutama anak-anak kita, remaja kita.

Jadi serba salah Pak RW. Walaupun sudah persuasif memberi penjelasan dan dibantu binwas tetap saja  tidak ditaati. Karena mereka saling meniru.

Jadi kalau ada anak muda dibawa ke polsek, maka pihak bapak-bapak juga harus dibawa juga. Berarti U**, pak A**, juga ketua DKM juga kalau begitu. Kalau nggak, ya Pak RW akan dibilang tidak adil!  hadeeuuuuh…

Ketiga, sikap-sikap ambigu dan pernyataan yang tidak tegas:
- Anjuran untuk "Waspada tapi jangan panik". Ini sikap tidak jelas jenis kelaminnya. Juga sulit diterapkan. Akhirnya yang ada adalah sikap normal saja, aman-aman saja, dan menggampangkan. 
- Beda pendapat di kalangan para ahli kesehatan dan juga ulama. Mulai dari kadar sifat mematikan virus, tingkat bahaya, kapan jam waktu jemur, aman-tidaknya kamar desinfectan, juga fiqh sholat jamah, dan jumat, serta tarawih.

Dua hal di atas membuat masyarakat terbelah. Ujungnya membuat sikap warga tidak banyak berubah. Karena tidak tegas pendapat pihak yang di atasnya.

Jadi mari kembali memulai dari diri sendiri! Upayakan apa yang bisa kita upayakan!

Kepada bapak-bapak yang punya anak remaja, berilah mereka contoh disiplin di rumah. Lalu minta anak-anaknya dengan amat sangat untuk tidak nongkrong di warung atau di tempat lainnya. Beri pemahaman mereka bahwa sikap itu beresiko membahayakan nyawa keluarganya. Sudah banyak contoh-contoh betapa sakit dan tersiksa ketika terinfeksi Corona, terutama yang gejala berat. 

Sudah banyak contoh juga di kalangan orang-orang sholeh (yang berpandangan positif terhadap Tuhannya) tetapi terkena juga. 

Memangnya siapa yang dapat mendikte kehendak Allah? 
Kewajiban kita hanya berdoa dan ikhtiar maksimal, lalu tawakal. Hasilnya? Kembali terserah Allah.

Apakah seterusnya kita akan tetap santai dan berkerumun?

Ini kembali ke pilihan kita. Tentu dengan kesiapan untuk menerima konsekwensinya.

Dan, jangan salahkan juga pihak-pihak yang selama ini sudah memberi peringatan...

Blok T278
21 April 2020.

Comments

Popular posts from this blog

PANGGUNG SALMAN DI PENGHUJUNG TAHUN

MUTASI PONTI

HARU BIRU PUTIH BIRU