Once upon a time in Kuningan, West Java …
#stel gamelan degung Sunda Sabilulungan
Siang itu, ahad 2 Januari 2011, sekitar pukul 10 awan putih menutupi
langit Kuningan, walaupun begitu udara sudah terasa hangat. Jalan raya
Jalaksana jalur Cirebon arah Kuningan terlihat lebih ramai. Di pertigaan
Desa Maniskidul, Kecamatan Jalaksana, sekitar 20 km arah utara dari
kota Kuningan, terlihat beberapa mobil plat B berbelok menuju arah
barat, agak menanjak. Kebanyakan jenis minibus atau van. Saya menduga
mereka adalah keluarga besar pesantren Husnul Khotimah. Hari Sabtu
sebelumnya adalah hari pembagian raport. Hari ahadnya adalah hari
terakhir libur semester Saat itu saya sedang memegang setir mobil,
meluncur menuju Karawang setelah menjemput 3 anak saya liburan di
kampung halaman. Di desa Cipondok, 3 km arah selatan kota Kuningan.
Kini Husnul Khatimah memang menjadi jujugan banyak orang tua yang
menginginkan pendidikan terbaik buat putra putrinya. Menjadi obsesi.
Adik saya yang keempat juga alumnus Husnul. Jadi ikut juga merasakan
betapa Husnul Khatimah memang sebuah tempat pendidikan ideal. Pesantren
impian.
Melihat fisik dan suasana saja, orang sudah merasa tentram ada di
sana. Gedung-gedungnya bagus, besar, indah, dan bersih terawat, termasuk
asrama santrinya. Ada masjid besar yang indah dan megah dipadu
pepohonan nan sejuk menjadikan area lahan pondok yang luas itu menjadi
eksotik.Untuk sebuah sekolah, masjid itu termasuk besar dan megah. Saya
melihat masjid itu mewakili visi pengelolanya. Karena masjid itulah saya
langsung jatuh cinta.
Lokasi Husnul Khatimah memang ideal. Bila kita memandang ke arah
barat, akan terlihat gunung Ciremai yang menjulang. Turun sedikit arah
timur ada kolam renang Cibulan yang nihil dari bau kaporit dengan banyak
ikan Dewa berukuran besar yang dibiarkan berenang bebas. Semua serba
alam. Rimbun dan menyejukkan. Lokasi pondok juga tidak begitu jauh dari
jalan raya. Bisa jalan kaki.
Melihat ustadz-ustadzahnya rasa tentram semakin terasa ke sumsum
tulang. Ramah, bersahaja, namun penuh wibawa. Mereka kebanyakan masih
muda-muda dengan pancaran optimisme. Jangan tanya tentang komitmen,
mereka adalah guru 100% itu.
Beberapa teman seperjuangan di STAN dulu menyantrikan putra-puterinya
di sana. Sebenarnya kalau waktunya bertepatan sekalian bisa jadi ajang
reuni dan kangen2an. Tak ketinggalan pula teman dari Karawang, sudah
mulai mengisi daftar keluarga besar Husnul Khatimah.
Walaupun relatif jauh dari Jakarta, namun daya tarik Husnul Khatimah
memang luar biasa. Walaupun ada banyak sekolah favorit, SekoIslam
Terpadu dan boarding school, tapi satu kursi bangku di Husnul Khatimah
tetap diperebutkan setiap tahun. Rupanya kalau sudah berurusan dengan
mendapatkan sekolah terbaik, tidak ada kamus ukhuwah (persaudaraan) disana. Apalagi itsar
(mendahulukan saudaranya). Semua ingin anaknya-lah yang lolos dan
diterima. Walau harus merogoh dana delapan digit rupiah, demi ananda
tercinta semua akan diupayakan.
Seirama dengan Husnul Khatimah adalah mulai bermunculan
sekolah-sekolah yang dikelola swasta (masyarakat) yang lebih dipilih
ketimbang sekolah negeri. Diantaranya di Subang ada Asy-Syifa Al
Khairiyah. Di Bekasi ada Yapidh dan Thoriq bin Ziyad. Ada Al Kahfi di
Bogor dan lainnya. Lebih senior adalah Al Azhar yang banyak tersebar.
Ada juga Al Zaitun di Indramatu dan Gontor Negeri 5 Menara Ponorogo.
Sepertinya ada sebentuk kekurangpuasan atas hasil sekolah negeri yang
membuat para ortu memilih sekolah swasta walau relatif lebih mahal
biayanya.
Nah, saat pegang setir Phanter itu, nyonya permaisuri tiba-tiba
berujar lirih:”mereka terlihat berupaya yang terbaik buat anak-anaknya
ya, Bi, kelihatannya tinggal kita yang belum”. Saya hanya tersenyum
kecut. Diam.
Memang ada semacam perang pendapat antara saya dan nyonya. Itu adalah
percakapan yang kesekian kali tentang sekolah masa depan itu. Ia memang
termasuk yang naksir ke Husnul Khatimah untuk si Teteh. Tahun 2011
memang waktunya masuk SMP. Masalahnya, saya sebagai pemimpin di keluarga
keukeuh dengan keputusan untuk memasukkan si Teteh ke SMP Amani Karawang. Sebuah sekolah rintisan yang masih baru, dan aneh.
SMP Amani dibanding Husnul Khatimah memang tidak ada apa-apanya.
Masjid di Amani cuma sebuah saung ukuran 3×3m persegi. Luas total
kompleks cuma sekitar 1.400 meter persegi. Hanya seluas lapangan olah
raga di Husnul Khatimah. Di Amani rerimbunan pohon hanya diwakili sebuah
pohon mangga. Lainnya masih baru menanam. Masih pendek-pendek. Kalau
ada banjir besar seperti April 2010 kemarin, pohon-pohon itu terancam
punah, senasib dengan “mendiang” pohon duren yang ditanam Bang Lendo
Novo, saat openhouse tahun 2008 lalu.
Suhu lingkungan Amani juga tidak sejuk. Sebagaimana iklim di Karawang
yang “hangat”, cukup membuat keringat berderas kalau ada sedikit
gerakan saja. Pasang AC juga tidak mungkin. Bangunannya saung. Namanya
juga sekolah alam. Koq pake AC?
Tapi sebenarnya ada kemewahan ala sekolah alam yang sulit didapat di
tempat lain, salah satunya adalah gemerisik pepohonan dan pemandangan
terbuka yang dinikmati saat belajar. Juga tanpa seragam sekolah. Jadinya
suasana seperti bermain. Menyenangkan.
Kepercayaan Yang Sederhana Itu…
Tiba tiba saya teringat percakapan dengan Mas Budi
Setyantono,tetangga saya di Perumnas Karawang saat bertemu pagi-pagi mau
beli sayur. Beliau adalah orang tua dari Ita, anak kelas 7 SMP Amani.
Ita adalah satu dari empat orang siswa kelas 7. Memang angkatan ketiga
SMP Amani cuma dapat murid empat orang. Sepertinya ada yang kurang tepat
strategi marketingnya. Saat itu Mas Ridwan baru saja mengundurkan diri
dari posisi sebagai Kepala Sekolah SMP Amani. Keputusan itu terlihat
membuatnya resah. Mas Budi seolah menangkap ada “sesuatu” di SMPAmani.
Brother Ridwan katanya mengundurkan diri ya Pak Soleh? itu kalimat
dari Mas Budi. Pertanyaannya sederhana saja. Saat itu saya spontan
menyampaikan ” Nggak apa-apa Mas Budi, saya sudah dialog langsung dengan
Brother, juga dengan guru-guru Amani, semuanya baik-baik, nggak ada
masalah”. Saya juga sampaikan sikap saya: ” Anak saya nanti tahun ini
nyusul mbak Ita ya, insya Allah”. Mas Budipun kembali tenang hatinya.
Kepercayaan mas Budi ke SMP Amani ini ternyata lebih memengaruhi saya
ketimbang berbondong-bondongnya kawan-kawan ke Husnul Khatimah di
Kuningan atau Asy-Syifa di Subang yang eksotik itu. Lebih kuat dari daya
tariknya ketimbang kemegahan gedung dan kelengkapan sarana di
sekolah-sekolah favorit dan RSBI.
Meminjam istilah sastrawan Sapardi Joko Damono, kepercayaan Mas Budi
ini adalah sebentuk kecintaan yang sederhana. Prinsipnya, kalau itu para
aktivis dakwah yang buat, insya Allah bagus. Simpel bukan? Sekolah Alam
Amani memang didirikan oleh beberapa aktivis di Karawang.
Mas Budi ini menyusul langkah Pak Muji, tetangga sebelahnya yang
lebih dulu memasukkan Wulan sebagai angkatan pertama SMP Amani. Dan
sayalah yang mengompori Wulan dan Pak Muji buat bersekolah di SMP Amani
angkatan pertama. Wah, bisa dianggap calo kalau saya cuma ngomporin
doank.
Lagipula, bagaimana bisa saya mengkhianati kepercayaan Mas Budi dan
Pak Muji yang tulus seperti itu? Dengan mengatakan “anak saya gak jadi
ke SMP Amani Mas Budi, jadinya ke Husnul Khatimah” umpamanya. Rasanya
saya tidak bisa seperti. Tidak tega.
Dalam banyak kasus, keberhasilan sebuah rintisan adalah pada
kepercayaan masyarakat. Kalau kita kehilangan orang-orang yang kecintaan
dan kepercayaannya seperti mas Budi ini, jangan mimpi ada sekolah
sekaliber Husnul Khatimah atau Gontor berdiri di tempat kita. Karena
semuanya berawal dari angka nol, kemudian angka 1, 2 dan seterusnya.
SMP Amani telah memulainya, dan tentu butuh kepercayaan itu. Di
samping itu saya sudah menaruh hati pada konsep sekolah alam yang
diusung SMP Amani. Jadi walau masih merintis, saya berfikir sangat layak
untuk dipilih. Dan saya harus mencoba untuk belajar memercayai seperti
Mas Budi dan Pak Muji itu.
Ya Husnul Khatimah adalah pesantren impian, tapi SMP Amani lebih memerlukan dukungan…
Bagaimana pendapat Anda?
Solihudin , 13022012, @Karawang