Saat Ramadhan adalah saat berbagi. Saat bersedekah. Walaupun setiap waktu adalah saat berbagi. Namun suasana Ramadhan memang membawa suasana berbeda, jiwa filatropi seperti terdorong naik. Termasuk berzakat. Seperti ikut terbawa gairah Ramadhan.
Selama
ini, zakat harus diakui, memang belum mendapatkan perhatian yang
semestinya dari umat Islam. Baik dalam tataran pemahaman maupun
pelaksanaannya. Dibanding rukun yang lain, zakat bisa dibilang tidak
begitu populer. Padahal, zakat adalah salah satu kewajiban bahkan
menjadi rukun dan pilar utama ajaran Islam. Tanpa zakat, bahkan
kemegahan Islam akan tidak terlihat, begitu kutipan dari buku Fiqh Zakat
karya Syaikh Yusuf Qardlawi. Artinya seakan-akan ada semacam sikap
'diskriminatif' terhadap rukun Islam yang satu ini.
Bila
dibanding dengan Shalat misalnya, sarana pendukungnya ada di mana-mana.
Masjid berdiri dimana-mana. Lima waktu dalam sehari bisa dilaksankan
dimana saja. Bila kita bandingkan dengan puasa Ramadhan, maka kita
dapati perhatian yang cukup besar terhadapnya dari berbagai kalangan,
dengan beragam bentuk dan bermacam cara. Televisi berlomba-lomba
memeriahkan Ramadhan. Budaya mudik membuat ibadah puasa jadi lebih
berwarna dan meriah. Ekonomipun menggeliat hebat. Padahal logikanya,
saat orang puasa mestinya tingkat konsumsi menurun. Itulah populernya
ibadah puasa.
Ibadah
haji apalagi, semua orang terobsesi ibadah yang satu ini. Ada gelar pak
Haji. Ada gengsi. Ada apresiasi. Pihak yang melayani ibadah hajipun tak
kalah gesit dan semarak. Mulai dari Depag, bank, biro perjalanan, atau
lembaga bimbingan haji.
Tapi terhadap zakat?
Zakat,
biasanya akan ramai dibicarakan pada bulan Ramadhan. Itu artinya,
perhatian terhadap zakat masih sekedar mendompleng pada ibadah puasa
Ramadhan. Sehingga seakan-akan masalah zakat, infaq dan shadaqah hanya
menjadi bagian saja dari amal ibadah bulan Ramadhan. Yang terjadi
setahun sekali. Padahal jika boleh menggunakan istilah
dompleng-mendompleng, semestinya zakat itu mendompleng pada shalat.
Karena
dalam Alquran maupun hadits, zakat hampir selalu digandengkan
penyebutannya dengan shalat. Misalnya, dalam Alquran saja kurang lebih
ada 28 (dua puluh delapan) ayat yang menggandengkan antara shalat dan
zakat. Sehingga dengan demikian perhatian terhadap zakat, sebagaimana
terhadap shalat, seharusnya bersifat harian, dan sepanjang masa.
Ada
beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab munculnya sikap
'diskriminatif' dan lemahnya perhatian terhadap zakat. Di antaranya:
Pertama, lemahnya pemahaman umat tentang ajaran Islam secara umum, yang termasuk di dalamnya tentang zakat.
Kedua, lemahnya dakwah dan sosialisasi tentang zakat di tengah masyarakat.
Ketiga, Masih lemahnya kesadaran dan dukungan terhadap peran lembaga-lembaga amil zakat yang amanah dan profesional.
Ada
fenomena unik tentang lemahnya semangat berzakat ini. Kenapa? ibadah
yang satu ini memang berlawanan dengan salah satu sifat atau tabiat
dasar yang melekat kuat dalam diri manusia, yakni tabiat cinta harta!
(lihat QS Al-Baqarah: 14, Al-Fajr: 20, Al-Adiyat: 8, dan lain-lain).
Maka wajar kalau Allah sendiri yang menyuruh Rasulullah untuk mengambil
zakat dari para muzakki. Tidak menunggu kesadaran dari muzaki. Surat At
Taubah ayat : 103 menyatakan demikian :
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikanmereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"
Selain
dengan diambil oleh para petugas zakat. Maka hal lain untuk mengimbangi
rasa enggan dan malas berzakat adalah dengan menggalakkan sosialisasi
dan dakwah tentangnya, serta optimalisasi peran lembaga-lembaga
pengelola zakat yang amanah dan profesional sepanjang tahun, dan bukan
selama bulan suci Ramadhan saja
Mata Rantai Zakat
Ibarat
rantai, zakat memiliki mata rantai. Dimana kekuatan rantai ada pada mata
rantai paling lemah. Dalam zakat ada factor yang menentukan
sukses-tidaknya penerapan perintah zakat di tengah-tengah kita. Apakah
itu?
Pertama: Pemerintah.
Karena negeri ini bukan Negara Islam, maka pemerintah cukup memberi ruang yang terbuka bagi kaum muslim untuk menunaikan zakat. Pemerintah cukup memberi fasilitasi melalui diberlakukannya Undang-Undang nomor 23 tahun 2012 tentang pengelolaan zakat. Artinya mau berzakat atau tidak terserah masyarakat. Artinya pemerintah bukan penentu suksesnya zakat.
Karena negeri ini bukan Negara Islam, maka pemerintah cukup memberi ruang yang terbuka bagi kaum muslim untuk menunaikan zakat. Pemerintah cukup memberi fasilitasi melalui diberlakukannya Undang-Undang nomor 23 tahun 2012 tentang pengelolaan zakat. Artinya mau berzakat atau tidak terserah masyarakat. Artinya pemerintah bukan penentu suksesnya zakat.
Kedua: Muzaki.
Memang harta zakat keluar dari muzaki (yang wajib berzakat). Namun bila tanpa hukuman yang tegas dan sanksi yang nyata, maka siapa saja yang tidak berzakat tidak akan kena hukuman. Tidak seperti pajak yang langsung kena sanksi bila tidak membayar pajak. Bahkan hingga sanksi penjara. Sedangkan yang tidak berzakat tidak akan ada cerita dipenjara
Memang harta zakat keluar dari muzaki (yang wajib berzakat). Namun bila tanpa hukuman yang tegas dan sanksi yang nyata, maka siapa saja yang tidak berzakat tidak akan kena hukuman. Tidak seperti pajak yang langsung kena sanksi bila tidak membayar pajak. Bahkan hingga sanksi penjara. Sedangkan yang tidak berzakat tidak akan ada cerita dipenjara
Ketiga : Mustahik (yang berhak dapat zakat)
Kecuali amil zakat, mustahik adalah mereka yang dhuafa. Powerless. Terdiri dari fakir, miskin, hamba sahaya, mereka yang berhutang, mereka yang dalam perjalanan, fii sabilillah, dan mualaf. Mereka praktis tak berdaya dan lemah posisinya. Mereka justru menunggu ada zakat yang sampai di tangan mereka.
Kecuali amil zakat, mustahik adalah mereka yang dhuafa. Powerless. Terdiri dari fakir, miskin, hamba sahaya, mereka yang berhutang, mereka yang dalam perjalanan, fii sabilillah, dan mualaf. Mereka praktis tak berdaya dan lemah posisinya. Mereka justru menunggu ada zakat yang sampai di tangan mereka.
Keempat : Amil Zakat
Menurut hemat saya, Amil adalah penentu sukses penegakkan zakat di Indonesia. Kenapa, karena di melaui seruan dan sosialisasi dari para Amil-lah para muzaki bisa tersadar akan kewajibannya. Ditangan petugas jemput zakat, pembayaran zakat bisa terealisasi. Di tangan amil yang professional para dhuafa bisa mendapat haknya. Bahkan bisa diberdayakan, sehingga yang tadinya mustahik bisa jadi muzaki.
Menurut hemat saya, Amil adalah penentu sukses penegakkan zakat di Indonesia. Kenapa, karena di melaui seruan dan sosialisasi dari para Amil-lah para muzaki bisa tersadar akan kewajibannya. Ditangan petugas jemput zakat, pembayaran zakat bisa terealisasi. Di tangan amil yang professional para dhuafa bisa mendapat haknya. Bahkan bisa diberdayakan, sehingga yang tadinya mustahik bisa jadi muzaki.
Jadi,
agar sukses berzakat. Maka disamping kita mesti menyadari pentingnya
zakat sebagai ibadah ritual yang berdampak social. Juga menunaikannya
melalui Lembaga Amil Zakat yang amanah dan professional. Insya Allah
masalah social efek dari kesenjangan ekonomi bisa beranjak hilang dari
bumi persada.
Karenanya, ayo berzakat! Agar zakat populer sebagaimana shalat, puasa dan ibadah haji
Karawang, 08082012