Di pelataran Masjid Agung Syiarul Islam, Kuningan |
Kedatangan kami memenuhi undangan dari OSHK (OSIS Husnul Khotimah), di mana anak saya Fathia diminta sharing. Mungkin karena ada sedikit pengalaman yang dianggap perlu dibagi ke teman-temannya sesama siswa atau santri. Terutama pengalaman menulis buku yang memang masih jarang dilakukan oleh anak sekolah menengah. Meski diinisiasi penuh oleh santri, secara tidak langsung acara ini adalah ajang silaturahim dua lembaga pendidikan Islam : Insan Cendekia Madani BSD dan Ponpes Husnul Khotimah Kuningan. Permintaan tersebut adalah lanjutan dari silaturahim sebulan sebelumnya yang dilakukan saat Si Teteh pulang ke kampung Abinya. Saya memang lahir dan besar di Kuningan. Pada kesempatan itu kami berjumpa dengan Ustadzah Mia Rusmia dan pengurus OSHK (OSIS-nya ponpes HK). Silaturahim itu ternyata berlanjut ke permintaan mengisi acara di atas.
Bertemu Ustzh Mia Rusmia Pembina asrama santri putri |
Setelah tiba di lokasi dan berkordinasi dengan panitia serta menikmati sarapan pagi dan bersih-bersih badan dengan siraman air yang dingin menggigit, kami menuju tempat acara di Masjid Al Husna 2 yang terletak di tengah-tengah kompleks asrama santri putri. Sayapun kebagian jadi juru foto dadakan.
Dengan persiapan yang cukup ringkas dan praktis karena bertempat di masjid, di mana tidak perlu ada kursi untuk peserta, pukul 09.00 acara dimulai. Tidak ada sambutan ini itu yang biasanya ada. Fathia langsung menyampaikan pemaparan materi, tepatnya sharing pengalaman. Sepertinya ia cukup lelah karena harus begadang malam sebelumnya ditambah perjalanan enam jam Serpong-Kuningan. Ini membuatnya kurang full power, sehingga volume suara kurang lantang. Mungkin juga karena posisi mic-nya kurang dekat. Syukurnya ia sempat membuat slide powerpoint. Cukup membantu alur pemaparan ringkasnya.
Dengan persiapan yang cukup ringkas dan praktis karena bertempat di masjid, di mana tidak perlu ada kursi untuk peserta, pukul 09.00 acara dimulai. Tidak ada sambutan ini itu yang biasanya ada. Fathia langsung menyampaikan pemaparan materi, tepatnya sharing pengalaman. Sepertinya ia cukup lelah karena harus begadang malam sebelumnya ditambah perjalanan enam jam Serpong-Kuningan. Ini membuatnya kurang full power, sehingga volume suara kurang lantang. Mungkin juga karena posisi mic-nya kurang dekat. Syukurnya ia sempat membuat slide powerpoint. Cukup membantu alur pemaparan ringkasnya.
Setengah jam ia memaparkan materi. Tema yang saya tangkap adalah tentang mencari keunikan diri, kepenulisan, serta dibumbui tema tentang Si Virus Merah Jambu. Tiga tema ini memang
tema yang klik banget. Karena ia tidak berwacana. Ia berbicara berdasarkan
pengalaman pribadinya.
Setelah pemaparan singkat, ia lanjut dialog interaktif.
Pertama ia meminta lima peserta menyampaikan mimpi-mimpinya. Terlihat sekali,
santri putri HK memang pintar-pintar, kritis dan percaya diri. Pada kesempatan
berikutnya ia memberi kesempatan peserta bertanya.
Konsep mencari jati diri dan keunikan diri ia peroleh
langsung dari sang maestro Talents Mapping, Ir. Rama Royani atau Abah Rama. Di mana ia sempat
mengikuti ToT basic level pada bulan September tahun lalu di Jakarta. Sehingga
saat ditanya bagaimana menggali keunikan diri, ia bisa menjawab dengan lugas. Menurutnya
ada dua cara menggali potensi keunikan
diri. Pertama dengan melakukan beraneka ragam kegiatan, kemudian temukan yang
paling disukai dan paling mudah dikuasai. Karena Allah tidak memberi tahu kita
secara langsung tentang keunikan kiita. Harus dicari. Cara mencarinya dengan mencoba
banyak kegiatan. Ia sendiri sebelumnya suka mencoba berbagai hal. Mulai baca puisi,
pidato, memainkan musik degung, memainkan drum perkusi, mengorganisir klub
sepeda. Juga backpaker, fotografi, drama, broadcasting, menulis sampai camping. Sampai akhirnya
bertemu dengan potensi dan kekuatan dirinya yang paling kuat. Menjadi diri sendiri. Konsep pencarian ini
dalam istilah Ayah Edy disebut metode ayakan pasir.
cita-cita para santri...semoga Allah kabulkan...amiin.. |
Saat berbicara tentang konsep keunikan diri, iapun dengan
jujur mengakui kalau dalam aspek akademik sangat mungkin para Santri HK lebih
hebat dibanding dirinya. Karena pada dasarnya semua anak itu unik. Semua anak
istimewa pada bidang peran yang sesuai bakat dan kekuatannya.
Saat ditanya tentang menulis. Iapun menjawab simple saja,
tulis saja apa yang ada di fikiran. Jangan terlalu ribet dengan tata bahasa.
Ya, memang se-simple itu membuat tulisan. Memakai otak kanan dulu baru memakai
otak kiri. Kalau tentang sistematika tulisan dan editing sesuai tata bahasa, bisa mudah berkonsultasi dengan guru bahasa dalam hal ini.
Seperti biasa, tema yang menjadi penyegar adalah saat bicara
virus merah jambu. Mirip bumbu penyedap atau sesendok sambal pada semangkuk
bakso. Bagaimana menyikapi cowok yang nembak atau mengajak jadian. Ini tema
yang selalu membuat riuh peserta. Apalagi yang cerita sesama abege seusia. Sepertinya
memang lebih mudah dicerna ketimbang yang bicara seorang dewasa yang langsung
menyerukan “Sudah, putusin aja!” walau lengkap dengan rentetan dalil ayat dan
hadits.
Semisal bagaimana menyikapi dengan benar dan elegan tanpa
harus mengambil opsi pacaran, Si Teteh menjelaskan bahwa pacaran itu akan lebih
banyak merugikan, apalagi di pihak perempuan. Terutama ketika sedang berproses mencari
potensi dan keunikan diri, bisa berantakan karena waktu dan perhatian akan terbagi
bahkan habis mengikuti maunya sang pacar. Karena biasanya akan sulit keluar
dari agenda bersama sang pacar. Tidak leluasa lagi!
Alhamdulillah, hingga usai acara
relatif berjalan lancar. Begitu usai, sesi foto-foto dan ajang selfie serta minta
tanda tangan melengkapi keriuhan acara yang digelar di masjid Al Husna 2 ini. Mirip acara temu artis, hehe.
Bila sebelumnya saya menyaksikan dan mendampingi langsung
bagaimana anakku menjadi seorang penulis saat masih SMP, maka pada kesempatan
ini saya menyaksikan proses menjadi seorang publik speaker di masa SMA. Benar juga kata Jamil Azzaini seorang
motivator nasional, bahwa kartu nama
seorang motivator atau public speaker itu adalah buku. Bedanya, bila Jamil
Azzaini menjadikan buku sebagai pendukung peran motivator dan public speaking-nya, sedang anakku
mengikuti saja alur bakat yang sudah ia ketahui. Tidak ada obsesi sebelumnya
ingin jadi pembicara atau motivator. Just
following the flow! Di mana setelah buku
perdananya itu terbit, kemudian ia beberapa kali diminta berbagi cerita pengalaman seputar
mencari potensi diri, tentang dunia kepenulisan hingga si virus merah jambu.
Mulai FORNUSA Jabar yang bertempat di Salman ITB, STIKES KHARISMA Karawang menyelengarakan acara bedah buku, Komunitas ODOJ Karawang yang selenggarakan seminar motivasi. Terakhir, anak-anak OSHK
Ponpes Husnul Khotimah Kuningan ini yang memintanya sharing. Semua mengalir saja.
Menyaksikan tumbuh kembang anak memang amat mengasyikkan dan
membahagiakan. Dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak bisa menjadi bisa. Dari
anak kecil yang masih imut-imut menjadi sosok yang punya prinsip, konsep
diri yang jelas, juga sikap yang tegas.
Rupanya di sinilah salah satu kebahagiaan orang tua yang sesungguhnya. Seperti
seorang petani yang berbahagia saat melihat benih yang ditanamnya tumbuh subur.
Saat daunnya hijau dan rimbun. Karena memang tak perlu menunggu berbuah untuk merasakan
bahagia.Tak perlu harus masuk di universitas elit, atau menjadi pejabat atau pengusaha untuk dikatakan sukses dan bahagia. Berbahagialah ketika anak-anak kita sudah tahu siapa dirinya dan siapa Tuhannya, mengabdi pada-Nya, serta memberi manfaat kepada yang lain...
Karawang, 10 Mei 2016