BONDING BADAU

Alhamdulillah berkesempatan menapaki alam pedalaman Kalimantan. Tepatnya di wilayah Kapuas Hulu. Lebih tepatnya di ekowisata Sungai Utik. Lokasinya antara Badau dan Putussibau. Wilayahnya berbatasan langsung dengan Malaysia. Ini hari kedua penulis mengikuti Forum Pengawasan sekaligus internalisasi Corporate Value. Pesertanya mulai dari kepala kantor, kasie pengawasan, account representative dan pelaksana. Total 30 peserta.

Forum dan ICV  yang biasanya diisi dengan paparan materi powerpoint di layar, kali ini disetting lebih banyak bertema petualangan. Dengan jarak menuju lokasi acara yang jauh melewati rute yang tidak mudah. Rombongan yang diangkut enam kendaraan roda empat itu bergerak dari Sintang menuju Badau melalui jalur kebun sawit Sungai Silat. Ditempuh total enam jam. Pulangnya memutar dulu. Dari Badau ke Putussibau sekitar tiga jam. Baru kembali ke Sintang. Total sembilan jam.


Suasana petualangan memang sangat terasa. Sejak hari pertama. Bahkan sejak saat berangkat dari Sintang menuju Badau. Ada insiden tanki BBM mobil Zenix kepala kantor yang bocor menghantam paku jembatan saat memasuki jalur kebun sawit Sungai Silat. Sang Zenix pun harus menyerah. Ia pulang diderek Triton merah menuju bengkel terdekat. Ada insiden lagi. Satu  mobil yang berangkat paling depan terperosok jalan berlumpur. Beruntung ada truk lewat dan membawa rantai besi. Mobilpun bisa jalan kembali. Ketika masalah Zenix dan mobil terperosok selesai dan lanjut berangkat, salah satu mobil sewaan mengalami  pecah ban saat melewati wilayah Semitau. Para fiskus pun berubah jadi mamang-mamang bengkel dadakan.


Tiba di Badau sekitar jam tiga sore. Langsung menuju Kantor Bea Cukai Nanga Badau. Dekat komplek PLBN Badau. Setelah shalat jamak-qoshor dan rehat sejenak, peserta menyimak pemaparan tentang Shadow Economy dari petugas KPBC.


Usai belajar sore di ruangan dengan dilatarbelakangi pemandangan pegunungan negeri Upin-Ipin, lanjut menuju tempat menginap di Semugang Resort. Penginapan punya Pak Sudayat, pengusaha lokal yang ulet. Perantau asal Jawa. 



Hari kedua agendanya adventure. Jelajah hutan Kalimantan. Agenda spesial yang jadi menu utama forwas kali ini. 


Sebelum jelajah hutan. Rombongan berkunjung ke rumah adat Betang dan beramah tamah dengan Apay Janggut, tokoh Dayak Iban setempat. Menghirup aroma budaya suku Dayak nan bersahaja dari karya-karya yang dihasilkan. Sejenak tercenung mendengar cerita tentang pilihan untuk tidak berkebun sawit dan memilih tetap berladang tradisional. “Agar hutan lestari,” kata Bu Widia, salah seorang guide. Rupanya masih ada yang lebih memilih alam yang lestari daripada alam rusak walau diimingi cuan nan menari-nari.







Setelah pamitan dan ambil foto, rombongan fiskus pengawasan pun mulai kegiatan jelajah hutan di kawasan ekowisata Sungai Utik. Jelajah jalan kaki dengan outfit hiking. 


Rupanya ada sungai kecil di sepanjang jalur yang dilewati. Sebagian alirannya berwarna merah. Kalau terbiasa nonton film sejenis Kuntilanak, Nenek Gayung atau Suster Ngesot, bisa berimajinasi ke mana-mana. Padahal ini tidak mengandung horor atau magic apapun. Itu hanya getah pohon yang larut. 





Pepohonan tropis khas Kalimantan ukuran besar masih tampak. Gagah dan menantang langit. Sekaligus memayungi bumi. Menggendong tanaman kecil yang merambat dan bergelayut di batang dan dahannya.


“Itu namanya pohon Tengkawang, buahnya bisa untuk buat mentega. Cuma kalah saing dengan mentega dari sawit,” Kata Bang Apat. Lengkapnya Agustinus Apat. Sang pemandu wisata. 


Pohon durian hutan juga beberapa terlihat. Kalau lagi musim, buah surga beraroma neraka itu membanjiri kota Sintang dan sekitarnya. Harganya pun murah meriah. Bisa beli sepuasnya. Penulis jadi punya pengalaman makan malam dan sarapan pagi sebiji durian utuh. Asam urat dan kolesterol juga aman ternyata. Tapi sayangnya sekarang belum berbuah. Apalagi matang. Pesta durian on the spot gagal jadinya. 


Setelah melewati Pos Pengawasan Perbatasan Indonesia-Malaysia, berlanjut susur sungai. Sebelum susur sungai rombongan berhenti di pinggir sungai yang landai. Titik awal penjelajahan. Ternyata godaan air nan jernih membuat semua orang nyebur sungai. Bonding session yang seru dan efektif. Lebih natural dan lepas. Lebih terasa ketimbang game-game artificial saat outbond. 



“Pak Sol, sembelih ayam ya,” pinta Mas Nurkolis komandan lapangan. 

“Siap, bismillah,” Saya mengiyakan. 

Memang sudah ada request sebelumnya. Kearifan lokal di sini, setiap ada rombongan warga luar yang masuk hutan, ada acara sembelih ayam. Untuk memastikan tidak ada maksud selain jadi lauk makan siang, sang ayam disembelih dengan bacaan “Bismillah Allahu akbar.” Pengalaman nyembelih ayam sejak SMP ternyata bisa diaktualisasikan kembali di hutan Kalimantan. Bang Apat juga faham. Amanlah jadinya. 


Menu ikan Tapah dibakar dalam pipa bambu dengan racikan bumbu sederhana yang dipadu daun pakis muda. Sungguh istimewa.  Secangkir kopi panas juga disediakan timnya Bang Apat. Diseruput panas-panas sambil kaki berendam di air nan jernih mengalir. Tak akan bisa disamai nikmatnya di cafe manapun. Am*ng, Nord*, hingga Asi*ng rasanya lewat. Sungguh indah hidup di negeri ini. 


Setelah insan-insan kota itu berfoto-foto pake HP tiada henti. Mulailah sesi susur sungai. Naik perahu kayu. Masing-masing perahu diisi tujuh orang. Lima penumpang dan dua awak perahu. 


Deru mesin perahu memecah kesunyian hutan. Diiringi obrolan ringan penumpang. Kali ini yang dibahas bukan tentang angka-angka. Bukan potensi pajak. Bukan LHPt, SP2DK dan SP3P2DK. Bukan monev dan target. Bukan pushrank dan IKU. Bukan tax ratio dll. Tapi tentang hutan. Tentang kearifan penghuninya. Tentang sungai terpanjang Indonesia yang kalau dilihat dari pesawat terbang, bagaikan ular raksasa. 


Beberapa batang kayu besar tampak di permukaan air. Itu bahan untuk rumah penduduk setempat. Di rumah Betang yang dikunjungi sebelumnya, kayu-kayu hutan itu memang begitu kuat. Rayap pun tak sanggup mengunyahnya. Semakin direndam semakin kuat. 



Memandang dari dekat rapatnya tetumbuhan pinggir sungai, jadi teringat scene di film Anaconda. Terbayang ada ular besar meliuk-liuk di bawah perahu. Rasanya inilah pengalaman paling puncak bertugas di pulau Kalimantan. Merasakan langsung dingin air sungainya sambil memandang rerimbunan hutan tropis yang selama ini hanya dilihat di National Geografic.


Bonding terjalin. Chemistry tercipta. Walaupun sudah menyadari kebutuhan akan sinergi tim, tapi bonding sebagai syarat untuk bersinergi kerap sulit tercipta. Dan itu tak bisa dimunculkan hanya dengan ceramah. Tapi harus dibentuk dengan saling kenal dan saling percaya. Melalui momen manusia yang utuh. "Jika kamu ingin mengenal seseorang, bepergianlah bersamanya.” Begitu kata pepatah. 



Juga sebagaimana kakak beradik yang kerap saling ledek sebagai sarana bonding diantara mereka. Maka situasi saling menertawakan yang lepas tanpa merasa ada etika yang dilanggar, itulah booster bonding terbaik. Tak perlu ada kekhawatiran kelak jadi sikap melunjak ke atasan. Justru sebagai pegawai akan semakin respek dengan sikap egaliter atasan yang lepas tanpa sekat. Toh moral dan etika itu ibarat rem. Ia akan dipakai ketika akan menabrak batas kepatutan. Selebihnya adalah bersinergi injak pedal gas menggapai cita-cita bersama

Hal istimewa lainnya, panitia acara juga swakelola. Tidak menggunakan jasa even organizer. Hanya melibatkan pemadu saat susur sungai. Panglimanya pak Beny, komandan lapangannya Mas Nurkolis. Bahkan sopirnya pun mandiri. Jadinya ya sopir, ya panitia, ya peserta. Tapi hasilnya justru melebihi ekspektasi. Jadilah forum dan ICV yang sangat efektif dan efisien.


Saya harus angkat topi ke panitia… 


Great job! 

Hanupis! 








Comments

Popular posts from this blog

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

MUTASI PONTI

KAWANKU PAHLAWAN