Menyimak polemik “do’a
berbayar” yang berujung polemik dan
hujatan yang melimpah ruah. Karena dianggap komersialisasi ibadah. Maka Ahmad
Ghozali-pun terkena getah. Namanya terjerembab saat umrah di Makkah.
Padahal kalau mau
dilihat lebih jernih, itu hanya cara agar orang tergerak hatinya untuk bersedekah.
Dirangsang semangatnya dengan didoakan di depan Kakbah. Tentu agar do’a mustajab
dihadapan Sang Pemilik Makkah. Tapi karena “action” yang diminta mengandung
rupiah. Terkesan jadi komersialisasi ibadah.
Padahal kalau mau
sedikit selidik. Sedekah yang masuk, penyalurannya ke para mustahik. Bukan ke
kantong pribadi, yang kadung dipersepsikan jadi delik.
Tapi saya melihatnya
koq jadi seperti gejala yang lumrah. Mungkin sepertinya itulah tabiatnya kalau
orang sudah bawa-bawa agama atau nyatakan diri sebagai pendakwah. Harus siap
kena fitnah. Sepertinya gak boleh berbuat salah. Entahlah.
Mungkin ini
memang sifat dunia yang lentur. Timbangan benar dan salah bisa saja menjadi
kabur. Hukuman sosialpun bisa ngawur. Kadang
seperti ada yang ngatur.
Padahal yang bawa-bawa
nama agama bukan tanpa sadar. Karena itu hasil dari belajar. Agar nilai-nilai agama
tak sekedar jadi bahan ajar. Tetapi masuk ke alam sadar dan bawah sadar. Juga
agar ajaran agama tak sekedar jadi ujar-ujar dan ular-ular. Agar keadilan tak
sekedar utopia. Tapi bisa menyapa si kaya dan yang papa.
Ketika agama
ingin masuk ke tataran realita. Maka ia berhadapan dengan sesuatu yang nyata. Alam
yang bisa diraba. Maka nilai harus bisa ditangkap mata. Didengar telinga.
Diraba oleh rasa. Maka agamapun jadi asasnya. Agar arah dan gerak langkah jelas
panduannya. Visi dan misi ada cantolannya. Agar kalau menyimpang jelas
ukurannya.
Tapi manusia
memang tabiatnya begitu. Salah sedikit saja kalau bawa agama langsung dihujani
batu. Dihukum tanpa diadili dulu. Maka, nasib para penyerunya sangatlah pilu.
Ada 'Aa yang
langsung redup hanya karena polygami. Padahal itu sah secara syar’i. Tak ada yg
didzolimi. Semua akur sebagai suami istri.
Ada Ustadz Sedekah yang langsung dikeroyok. Padahal hanya masalah legalitas usaha belum yang belum
cocok
Ada Sang Perencana Keuangan di atas yang jadi namanya tiba-tiba ancur. Hanya karena salah redaksianal brosur
. Yang kadung tersebar luas jadi omongan yang cenderung ngawur.
Ada juga pemimpin partai Islam divonis karena berteman makelar, san beristri gadis
belia. Maka dituduhlah korupsi uang negara. Dituduhlah pencucian uang padanya. Maka
1000 persen hakim berpihak pada jaksa. 1000 persen pembelaan pengacara tiada
guna.
Sebelumnya ada aleg partai Islam yang kena giliran. Gara-gara gambar tak senonoh di layar tabletnya yang
tersorot kamera saat sidang Senayan. Maka beritanya gegap gempita tak tertahankan.
Tsunami beritanya mampu hentikan karir jadi anggota dewan.
Ada aleg partai
Islam di Sumatera kedapatan di panti pijat resmi. Diberitakan digerebek saat berbuat
mesum. Padahal sehari-harinya ia amat shaleh. Bersahaja dan gampang menangis. Iapun
harus rela mundur jadi jadi anggota dewan.
Semua tewas
karakternya. Sebelum terbunuh jasadnya. Hanya karena kesalahan manusiawi belaka.
Semua karena bawa-bawa agama.
Tetapi, mungkin
itulah hikmahnya. Kalau bawa-bawa agama, standar maksiat menjadi beda. Harus lebih hati-hati dan waspada. Halalpun bisa jadi salah karenanya. Kekurangpantasan
mungkin itu alasannya. Apalagi haram, jangan ditanya. Langsung kena karma.
Mungkin itulah
harganya kalau bawa-bawa agama. Salah kecil dilihat besar kayak raksasa. Salah
manusiawi dibilang subversi.
Tapi memang
risalah itu diaktual. Karena terlalu lama
idealisme langit hanya jadi khayal. Maka kalau para dainya mundur gara-gara
hukuman sosial. Kapan nilai-nilai mulia itu jadi faktual?
Sebagaimana
cita-cita. Ia harus melalui uji coba. Jatuh bangun adalah hal biasa. Karena
itulah harganya.
Anak kecil belajar
jalanpun harus jatuh bangun dulu agar ia bisa tegak berdiri. Apalagi ini
cita-cita besar tuk tegakkan nilai Ilahi. Ujiannya tentu lebih hebat lagi.
Harganya jauh lebih mahal lagi.
Karena tegakkan agama harus dicoba. Jatuh bangun adalah harga.
Tak bisa berharap tegak agama, hanya dengan berpangku tangan saja.
Pembawa panji
Tuhan memang tak andalkan keajaiban. Seperti tongkat Musa membelah lautan. Karena mukjijat
mutlak hak Tuhan.
Zaman sekarang
zamannya akal dan teknologi. Semua proses kebangkitan Islam harus dilalui secara
manusiawi. Keringat ia syaratkan. Air
mata nan tak terhindarkan. Bahkan darahpun kadang harus bercucuran.
Wajar kalau nilai
Ilahi harus juga jalani trial and error. Maka saat itulah harus siap fitnah dan teror.
Dari mereka yang berhati kotor. Atau dari mereka yang tidak mau agama jadi terkesan
kotor.
No comments:
Post a Comment