"Memangnya kalau bahasa Maduranya apa?" Saya balik tanya.
"Kompoy" Jawab Nyonya.
"Kompoy" Jawab Nyonya.
"Ha ha ha ha". Kami berdua tertawa bareng.
Jauh amat "incu" sama "kompoy"!.
Itulah salah satu nuansa keluarga yang berasal dari dua suku berbeda,
Sunda dan Madura. Saat-saat senggang kadangkala dipake buat bercanda.
Salah satu canda paforit adalah mencari padanan kata dalam dua bahasa
itu. Bila ada kata yang terkesan aneh biasanya langsung tertawa. Ada
bahan buat saling ledek ^_^
Waktu
menikahi nyonya yang ber-etnis Madura, tadinya saya berfikir akan ada
sinergi yang hebat. Saya akan jadi mahir bahasa Madura, nggak kalah sama
para Sakerah. Kalau ketemu penjual sate Madura bisa dipake menawar
(memang bisa sate ditawar?) atau minimal ada bahan berakrab ria.
Itung-itung nambah saudara. Sedangkan Nyonya akan bisa ber-"kumaha eta" ala perempuan Priangan. Kelak anak-anak kami bisa bilingual Sunda dan Madura. Karena belajar dari Abi dan Uminya.
Walaupun
kelihatannya gampang, rupanya teori di atas sulit terwujudkan. Bahkan
teramat sulit ternyata. Buktinya, saya nggak bisa bahasa Madura. Nyonya
juga nggak bisa bahasa Sunda. Anak-anak malah nggak bisa kedua-duanya.
Semua akhirnya disatukan dalam bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Jadinya seperti
Sumpah Pemuda : berbahasa satoe bahasa Inodensia!. Oh, ya sekarang khan Oktober? ada hari Sumpah Pemuda khan?
Walau begitu, ada juga pengaruhnya. Tapi sebatas logat. Kalau saya coba bicara bahasa Madura percakapan sederhana, seperti "dek remah",
yang pas baru logatnya. Kata nyonya mirip banget sama orang Madura.
Sebaliknya, logat nyonya lebih kebawa-bawa jadi orang Sunda. Rada
berirama. Kayak ditarik di ujung kalimatnya. Makanya tetangga sampai ada
yang mengira, saya yang Madura dan nyonya yang Sunda. Kebalik! ^_^
Untuk
urusan logat, memang saya merasa lebih mudah menirunya. Waktu dulu,
tahun 1997-an saat pulang kampung ke Kuningan. Saat ketemu teman-teman
SMA, pada bilang saya jadi kayak orang Jawa. Soalnya logatnya jadi
medok. Rupanya secara tidak sadar saya jadi kebawa kawan-kawan di kantor
waktu penempatan kerja di Probolinggo, yang kebanyakan Jawa.
Lalu
bagaimana nasib bahasa daerah anak-anak? ini yang agak sedih. Karena
terancam nggak bisa berbahasa daerah. Walaupun muatan lokal di sekolah
ada pelajaran Bahasa Sunda, tetap saja sulit. Sampai sekarang anak-anak
nggak bisa ngomong "kumaha ieu". Rupanya untuk berbahasa satu bahasa Indonesia yang paling genuine dan permanen adalah dengan perkawinan antar suku. Lebih efektif dari acara sumpah pemuda, he he
Dari
empat anak yang sudah lancar bahasa lisannya, hanya si Teteh yang agak
bernasib baik. Karena pernah sekolah di Kuningan 1,5 tahun, bahasa
Sundanya lumayan bisa. Sudah banyak kosakata yang dikuasai. Bahkan saat
kelas 6 SD (saat tulisan ini dibuat Si Teteh sudah kelas 2 SMP) sempat
juara 2 Pidato Bahasa Sunda tingkat Kabupaten Karawang.
Dari
situasi di atas, saya jadi paham kenapa ada bahasa yang punah. Bahasa
Sunda adalah salah satu bahasa yang terancam punah itu. Liputannya bisa
dibaca di sini.
Sedih memang, hiks..... Masalahnya, apakah untuk mempertahankan bahasa daerah kita tidak boleh nikah antar suku?
Bagaimana solusinya?
Solusi
efektif baru satu yang terbukti. Anak-anak harus tinggal di lingkungan
yang bahasa sehari-harinya bahasa daerah. Seperti anak saya di atas.
Cukup dua tahun saja untuk bisa sampai komunikatif berbahasa daerah.
Bila hanya melalui pelajaran di kelas, sepertinya sulit. Buktinya, anak
saya kedua, Imad, walaupun ada muatan lokal pelajaran Bahasa Sunda, tetap saja tidak
bisa komunikasi bahasa Sunda.
Sambil tetap berharap ada solusi lain. Saya akhiri dulu tulisan ini.
Selamat memperingati Sumpah Pemuda!
Selamat memperingati Sumpah Pemuda!
Karawang, 30 Oktober 2012
No comments:
Post a Comment