Kebijakan Tak Visioner

Pengantar

Dalam beberapa kesempatan, sempat mendengar wacana akan dibangunnya pelabuhan peti kemas di Kecamatan Cilamaya, Karawang. Termasuk dari kawan saya yang jadi anggota legislatif di DPRD Karawang. Hanya samar-samar, emmang. Namun pada intinya semua yang berbicara terlihat ada perasaan bangga dengan dinamika pembangunan di Karawang. Semacam ada harapan. Entah konkritnya harapan itu seperti apa.

Hal sama saat obrolan di teras masjid perumnas Blok T saat rehat kerja bakti beberapa waktu yang lalu. Ketua DKM-nya kebetulan dosen Unsika (kini sudah berganti kepengurusan). Ia jadi banyak tahu dinamika di Karawang. Memang selalu ada hal menarik kalau kita menyempatkan diri mendengar obrolan warga. Salah satunya tentang pelabuhan Cilamaya itu. Ternyata sudah menjadi wacana warga kebanyakan.

Dari obrolan itu juga saya baru tahu kalau ada putra Karawang yang me-nasional, salah satunya Jenderal Kiki Syahnakri. Saya ingat betul dari nama itu. Beliau saat krisis Timor Timur adalah Panglima Darurat Sipil. Nama Kiki Syahnakri kerap disebut. Waktu itu saya agak heran, jenderal namanya koq Kiki. Menurut saya nama ini terlalu “lembut” untuk seorang jenderal. “Kiki’ biasanya nama seorang perempuan atau nama panggilan akrab saja. Ada nama artis juga juga kan?   Untuk seorang jenderal biasanya nama yang “macho ” yang pas. Seperti Norman Schwarkof, Gatot Sujarwo, Bibit Waluyo, atau nama Jawa yang ada huruf “o”-nya macam Suharto, atau Tri Sutrisno. Bisa juga nama Arab, seperti Ahmadi Yani, Syafrie Syamsudin, atau Solihudin he he.  Karena mengandung irama jadinya saya menduga kalau beliau urang Pasundan. Ternyata benar, beliau termasuk Askar, alias Asli Karawang.

Apa hubungannya Terminal Peti Kemas Cilamaya dengan Kiki Syahnakri. Ternyata ada!. Di Harian Kompas Senin, 1 Agustus 2011, beliau menulis tentang ini. Judulnya yang bikin penasaran “ Kebijakan Tak Visioner”. Lumayan, ada tulisan tentang Karawang yang aktual dari seorang putra daerah yang sudah me-nasional.
Nah, silakan simak ya.


KEBIJAKAN TAK VISIONER

Oleh: KIKI SYAHNAKRI


Dalam satu pertemuan dengan Bupati Karawang di ruang kerjanya beberapa waktu lalu, terungkap adanya rencana pembangunan pelabuhan peti kemas di Cilamaya, pantai utara Karawang.
Pelabuhan yang dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan kegiatan bongkar-muat di Pelabuhan Tanjung Priok tersebut merupakan proyek pemerintah pusat yang rancang bangunnya sudah selesai dibuat.

Untuk menunjang keberadaan pelabuhan tersebut, akses jalan layang yang panjangnya lebih kurang 30 kilometer juga akan dibuat. Jalan ini menyambungkan Jalan Tol Cipularang dan Jalan Tol Jakarta-Cikampek dengan pelabuhan tersebut.

Alih fungsi

Sudah berabad-abad lamanya wilayah pantai utara Jawa Barat (pantura Jabar), yang terdiri dari Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, dan Indramayu, menjadi lumbung padi Nusantara. Sejak abad XVI, bahkan mungkin lebih awal lagi, produksi beras yang melimpah dari wilayah ini dikirim ke berbagai pulau di Nusantara. Kultur masyarakat di wilayah ini secara turun-temurun adalah petani padi sejati. Keahlian mereka dalam bertani padi menjadi rujukan para petani padi dari daerah lain, bahkan dari luar negeri. Julukan sebagai lumbung padi Nusantara menjadi kebanggaan bagi masyarakat pantura Jabar.

Namun, sejak pemerintahan Orde Baru, seiring dengan meningkatnya pembangunan nasional, ribuan hektar sawah dan lahan kering di bagian selatan pantura telah dialihfungsikan menjadi kawasan industri yang membentang dari Pulogadung sampai daerah Subang. Berbagai jenis industri, yakni otomotif, alat elektronik, pipa, dan lain sebagainya yang berorientasi ekspor dibangun di kawasan ini.

Besarnya produk industri dari kawasan ini ditambah produk industri dari Purwakarta dan Bandung di satu sisi serta kepadatan Pelabuhan Tanjung Priok di sisi lain telah mendesak dibangunnya pelabuhan baru.

Namun, dapat dibayangkan berapa banyak lagi lahan pertanian sawah teknis yang akan beralih fungsi. Kebutuhannya tidak hanya untuk membangun pelabuhan dan jalan layang, tetapi pasti diperlukan pula lahan untuk membangun sarana atau prasarana penunjang, seperti terminal peti kemas, pergudangan, dan perumahan, bahkan dengan sendirinya akan berkembang pula pertokoan atau kawasan bisnis di sekitar pelabuhan.

Selama kurun waktu 2001-2005, alih fungsi sawah irigasi teknis di Kabupaten Karawang rata-rata 58,5 hektar per tahun. Antara 2006-2007, pengurangan lahan sawah mencapai 74 hektar. Di Kabupaten Bekasi lebih parah lagi, penyusutan sawah dan tanah kering mencapai rata-rata 750 hektar per tahun.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, selama 1995-2005 secara nasional terjadi penyusutan lahan sawah sebesar 768.000 hektar. Data lain menunjukkan, dalam 10 tahun terakhir, alih fungsi sawah secara nasional mencapai 110.000 hektar per tahun. Dengan data seperti itu, tentu saja produksi pangan nasional akan terancam, terutama kontribusi dari wilayah pantura Jabar dapat dipastikan akan menurun. Kendati ada program intensifikasi untuk mendongkrak produksi padi, hal itu akan sulit mengimbangi penurunan produksi akibat penyusutan lahan sawah.

Dampak lain yang lebih mengkhawatirkan adalah perubahan kultural masyarakat. Kultur petani di wilayah pantura Jabar dari tahun ke tahun terkikis oleh industrialisasi. Menjamurnya industri di wilayah ini telah menyedot kaum muda untuk menjadi pekerja industri karena bagaimanapun penghasilannya lebih jelas dan menjanjikan ketimbang mereka bekerja di sawah, terlebih lagi sebagian besar dari mereka merupakan petani penggarap yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri.

Dengan demikian, kini para pekerja sawah di wilayah ini rata-rata sudah berusia tua. Pemandangan para wanita muda membersihkan rumput di tengah hijaunya hamparan sawah kini sangat jarang ditemukan. Yang tersisa adalah para wanita yang berusia di atas 50 tahun. Secara perlahan tetapi pasti telah terjadi pergeseran kultur masyarakat sehingga sangat dikhawatirkan pada suatu saat tidak ada lagi orang yang mau bekerja sebagai petani di sawah.

Ke depan, produksi pangan global diprediksi akan menurun drastis. Hal ini disebabkan alih fungsi lahan pertanian untuk industri, konversi lahan pertanian pangan untuk produksi masif bahan bioenergi, serta terjadinya perubahan iklim global. Dengan demikian, kendati negara memiliki uang banyak untuk membeli beras, nantinya terjadi kelangkaan pangan global sehingga sulit untuk mendapatkan beras di pasaran dunia. Oleh karena itu, sangat mendesak untuk mengupayakan kemandirian pangan atau kita biarkan bangsa ini ditimpa bencana kekurangan pangan.

Pengulangan kesalahan

Kebijakan masa lalu menjadikan wilayah pantura Jabar-yang merupakan lumbung pangan nasional-sebagai kawasan industri ternyata merupakan kebijakan yang salah dan tidak visioner, kurang memperhitungkan dampak fisik berupa penyusutan lahan sawah yang ternyata cukup signifikan, serta dampak sosial yang lebih buruk, yaitu terjadinya pergeseran kultural yang membuat masyarakat enggan turun ke sawah.

Kini, dengan rencana pemerintah membangun pelabuhan peti kemas di kawasan utara Kabupaten Karawang, sungguh merupakan pengulangan kesalahan atau pengulangan kebijakan tidak visioner untuk kedua kalinya.

Justru akan lebih bijaksana dan amat visioner apabila pemerintah melakukan relokasi kawasan industri dari wilayah pantura Jabar dan DKI ke luar Jawa (lebih tepatnya ke wilayah timur Indonesia) atau paling tidak melakukan moratorium pembangunan industri baru di kawasan ini. Dengan demikian, selain menyelamatkan produksi pangan, hal ini juga akan mengurangi kepadatan penduduk, menurunkan tingkat kepadatan lalu lintas, menurunkan angka kriminalitas, serta niscaya akan mempermudah upaya mengatasi banjir. Di samping itu, akan terjadi pula peningkatan kegiatan ekonomi di luar Jawa, peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum, dan aspek pemerataan. (*)

KIKI SYAHNAKRI Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat
Sumber: Kompas

Comments

Popular posts from this blog

PANGGUNG SALMAN DI PENGHUJUNG TAHUN

HARU BIRU PUTIH BIRU

MUTASI PONTI