Oleh : Ust Uri mashuri
Allah tidak melarangmu sekalian berbuat baik dan memberi sebahagian hartamu kepada yang tidak seagama dengan kamu, selama mereka tidak memusuhi kamu dalam agamamu atau mengusirmu dari kampung halamanmu.
(Al Mumtahanah, 9).
Pangkalan Berpijak
Nabi Ibrahim A.S begitu istimewa dalam pandangan
Islam. Banyak ibadah dan keteladanan yang dinisbatkan dengan pengalaman beliau
seperti ibadah haji dan qurban. Beliau adalah nenek moyang monotheisme yang
pertama kali mendeklarasikan ke-Esaan Tuhan kepada seluruh manusia, mengajarkan
tentang kehidupan akhirat serta neraca keadilan yang diberikan Tuhan saat
menghisab amal perbuatan manusia di kehidupan nanti. Semua agama Samawi,
Nabinya merupakan turunan beliau.
Agama-agama Samawi diakui oleh Islam sebagai satu
keluarga dalam persaudaraan iman. Mereka dijuluki ahl kitab -Keluarga dalam
petunjuk– istilah Ahl bertumpu pada persamaan dan keserasian. Memang itulah
sendi persaudaraan yang merupakan fondasi kerukunan.
Allah memerintahkan kepada umat Islam agar
menyeru kepada Ahli Kitab dengan kalimat-kalimat yang sama, kalimat yang paralel,
kalimat yang tidak mengandung perbedaan. Kalimat itu berupa penyembahan kepada
Zat Yang Maha Esa, yakin pada adanya kehidupan nanti di akhirat, dan keharusan
untuk senantiasa menyeru kepada amal-amal yang shaleh –amal yang baik– dalam
kehidupan di dunia.
Kebencian karena perbedaan keyakinan dan paham
jangan menghalangi seorang muslim untuk tidak menegakan keadilan. Obyektifitas
harus senantiasa ditonjolkan.
Umat Islam yakin seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW
senantiasa bergandengan tangan dengan Nabi Isa A.S dalam membawa misi. Keduanya
membawa rahmat untuk manusia.
“Aku datang untuk membebaskan bumi”, demikian
sabda Nabi Isa A.S.
“Aku rahmat bagi seluruh alam”, demikian pula
sabda Nabi Muhammad SAW.
Seorang muslim senantiasa dianjurkan untuk
berulang ulang membaca ayat 33 surat Maryam, yang artinya :
“Salam sejahtera dilimpahkan untukku –Isa A.S.–
saat aku dilahirkan, saat aku diwafatkan, dan saat aku dibangkitkan hidup
kembali.”
Demikian istimewa kedudukan Nabi Isa di hati
seorang muslim. Pelanggaran besar dan taktermaafkan bila ada yang merendahkan
apalagi menghinakannya. Tapi tidaklah demikian bagi umat lain terhadap Nabi
Muhammad anutannya umat Islam. Kita acap mendengar cercaan, hinaan, bahkan hujatan
yang membuat pengikutnya terluka hati.
Islam jauh membuka lebar sayap toleransinya,
tergambar dalam awal surat At-Tin. Tersirat dalam surat tersebut pengakuan
keberadaan agama-agama besar yang banyak mempengaruhi perilaku umat manusia di
dunia ini.
“Demi pohon tin, pohon zaitun, bukit Tursina,
serta Negeri yang aman ini –Mekah.” Syeh Jamaludin Al Qasimi (1866-1914) dalam
pemahamannya menyebutkan bahwa At-Tin yang dimaksud adalah pohon suci di mana
Sidharta Gautama untuk pertama kali mendapatkan pencerahan dari Tuhan. Zaitun
adalah pohon yang banyak tumbuh di sebuah bukit dekat Al-Quds (Yeruzalem)
tempat Nabi Isa A.S menerima wahyu dan diangkat ke sisi Tuhan. Bukit Tursina
adalah tempat Nabi Musa A.S menerima kitab Taurat dan bercakap-cakap dengan
Tuhan, sedangkan negeri yang aman ini merupakan negeri Mekkah tempat Nabi
Muhammad S.A.W. merima wahyu untuk pertama kali.
Mari kita simak kitab ulangan 33:2 “katanya:
bahwa Tuhan telah datang dari Torsina dan telah terbit bagi mereka itu dari
Seir, kelihatanlah Ia gemerlapan cahayanya dari Gunung Paran.”
Torsina dan Seir, semua tahu, itu tempat Nabi Musa dan
Nabi Isa menerima wahyu. Sedang Gunung Paran sebagaimana dijelaskan dalam kitab
kejadian 21:21 adalah tempat Nabi Ismail dan ibunya Hagar atau Hajjar tinggal.
Tempat itu adalah Mekkah Al Mukaromah tempat Nabi Muhammad S.A.W. diangkat
menjadi Rasul.
Penafsiran seperti di atas boleh saja tidak
diterima. Namun, penolakan terhadap empat tokoh dunia yang banyak memengaruhi
kehidupan orang banyak sangatlah naΓ―f. Kita dituntut untuk merunduk menaruh
hormat pada mereka.
Jembatan Hati
Ada anugerah besar yang Tuhan berikan kepada
kita. Anugerah itu adalah hati nurani, sifatnya fitri -suci – senantiasa
cenderung pada kebaikan ––hanif. Tuhan memberikannya pada semua manusia tanpa
pandang bulu. Nurani senantiasa menyuarakan kebenaran, kesucian, kejujuran,
serta mengarahkan kita pada kemaslahatan, kedamaian, dan ketentraman. Itulah
jembatan persaudaraan antarmanusia yang dalam keyakinan umat Islam merupakan
bagian dari Tauhid, unity of man kind.
Bila kita mampu membangun jembatan hati
antarkita, kita akan mendapat pola yang kokoh dalam berinteraksi satu dengan
yang lain tanpa harus mengusik keyakinan masing-masing. Permasalahannya, apakah
kita mampu mendengar bisikan hati nurani? Apakah kita lebih mendengar hawa
nafsu kita yang cenderung mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok dalam wawasan yang sempit dan
temporal?
Saya tidak dapat membayangkan apa jadinya
seandainya umat Kristen hanya berpegang pada Matius 20:19 “sebab itu
pergilah kamu, jadikan sekalian bangsa itu muridku, serta baptiskan dia dengan
nama Bapak dan Anak dan Ruhul Kudus.”
Kemudian, umat Islam hanya berpegang pada surat
Al-Imran ayat 19 dan 85 yang menyatakan bahwa hanya agama Islam yang akan diterima
dan diridhai Allah. Tentunya, yang akan terjadi adalah konflik yang akan
membawa pada kemadharatan.
Islam dalam berdakwah menggariskan
prinsip-prinsip yang sportif dan berlandaskan ahlak yang mulia. Pemaksaan,
intimidasi, penipuan, manipulasi, dan mengekploitasi kelemahan tidaklah
dibenarkan. Kebijaksanaan (hikmah) tukar pikiran yang jernihdam keteladanan yang baik itulah yang harus
ditempuh oleh shahibud dakwah. Itulah ajaran Islam yang menjunjung tinggi toleransi,
kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan, serta kejujuran.
Saya yakin ajaran Kristen pun demikian bila bersumber
dari misi Nabi Isa A.S yang penuh kasih dan kelembutan.
Insya Allah, dengan semangat kasih yang
diteladankan oleh Nabi Isa AS dalam menjalani hidup dan kehidupan dan umat Islam
dengan semangat Al-Quran dan As Sunah sebagai mercusuar pembimbing menjalani
kehidupan, hal tersebut akan menjadi dasar pengokoh persaudaraan sejati dalam
kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hanya dengan semangat itu kedua umat akan berjalan
seiring bersama-sama dalam mengatasi berbagai masalah kemasyarakatan dan
menjawabnya dengan solusi bijaksana.
Pasang Surut Hubungan Islam Dan Kristen
“Takkenal maka taksayang”, adalah ungkapan yang
sangat popular dan sangat sulit untuk diingkari kebenarannya.
Banyak asumsi yang salah akibat tidak saling mengenal dan
memahami satu dengan yang lain. Tanpa alasan kadang-kadang timbul kebencian dan
merasa terancam dengan komunitas yang berbeda paham dan berbeda keyakinan.
Dialog tebuka dengan saling menghormati hubungan yang baik tanpa agenda
tersembunyi menjadi kunci hubungan baik antarkomunitas.
Nabi Muhammad SAW menjadi contoh yang baik tatkala
menerima rombongan kaum Nasrani dari wilayah Narjan, Beliau menerima dengan
penuh hormat dan mengizinkan mereka berdoa di kediamannya.
Saat beliau menjadi penguasa di Madinah ucapannya membuat
tenteram komunitas lain yang tidak sekeyakinan dengan beliau. Sabdanya, “Siapa
yang mengganggu umat agama Samawi, maka ia telah menggangguku.”
Nabi juga berdiri hormat pada saat jenazah seorang Yahudi
diusung lewat dihadapan beliau. Saat sahabat keheranan dengan sikap Nabi dan
bertanya, “Bukankah ia seorang Yahudi?” Nabi menjawab pendek: “Ia pun adalah
manusia.”
Penguasa Ethiopia Najasi yang beragama Kristen,
patut mendapat acungan jempol pada saat ia menolak permintaan kaum musyrikin
Quraisy untuk mengekstradisi kaum muslimin yang hijrah ke negerinya dengan
alasan kemanusiaan. Contoh-contoh konkret hubungan yang indah antara dua agama
yang berbeda keyakinan.
Amal shaleh dalam Islam yang dilakukan dapat melintasi
etnis, agama, bangsa, dan negara. Amal shaleh berdiri di atas landasan
kemanusiaan yang beradab, “Oleh sebab itu telah kami -Tuhan– tetapkan atas anak
turunan Israil bahwasanya barang siapa yang membunuh tanpa kesalahan atau
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh umat manusia
seluruhnya, barang siapa menghidupkan –berbuat baik- kepadanya maka sekakan-akan
ia telah menghidupkan umat manusia seluruhnya.” ( Q.S Al-Madinah:
32).
Teroris yang sering kita dengar dan sangat
menghantui kita pasti dilakukan oleh mereka yang tidak memahami secara baik
ajaran agama yang mereka anut. Radikalisme tidak hanya terdapat dalam kalangan
umat Islam, tapi juga terdapat dalam penganut agama lain, termasuk Kristen,
Yahudi, Hindu, Budha, dan lain-lain. Tentunya, kewajiban kita untuk mencari
akar masalah yang membuat mereka radikal seperti itu agar tuntas
penyelesaiannya. Bila kita sikapi dengan ketidakjernihan hati dan pikiran, kita
akan terjebak dalam konflik yang lebih dalam dan mengerikan.
Radikalisme yang dilakukan oleh sekelompok yang
menamakan Islam tidak saja terarah pada kelompok agama lain, tetapi juga bisa
terarah pada semua muslim yang dianggap
tidak sepaham, seperti yang dilakukan sekelompok yang menamakan dirinya
“organisasi Islam” saat berusaha membunuh presiden Mesir, Husnie Mubarok.
Mereka berkata, “Dalam upaya melaksanakan hukuman Tuhan terhadap pelaku
kejahatan, maka usaha untuk merenggut nyawa Husnie Mubarok merupakan tugas suci
bagi kami.” Tentunya sulit bagi kita untuk memahami jalan pikiran seperti itu.
Kita berterima kasih kepada mereka-mereka yang
telah menempuh jalan dengan melintasi jembatan hati untuk memahami
perbedaan-perbedaan yang ada sehingga menjadi harmoni yang sangat mengagumkan.
Mereka adalah pemikir dan penulis dikalangan Nasrani baik dari Katholik maupun
Protestan yang dengan sepenuh hati dan pemikiran yang jernih sampai pada
kesimpulan objektif menurut sudut pandang keahlian mereka.
Insya Allah, mereka merupakan angin segar yang
bertiup untuk menyejukan hubungan antara Islam dan Kristen dengan penuh
kedewasaan, dengan kadar toleransi yang tinggi.
Toleransi yang penuh kedewasaan takkan menyentuh wilayah
akidah –keyakinan– dan juga ibadah –ritual. Sebabnya, hal itu merupakan
identitas masing-masing yang perlu dihormati.
Wilayah kehidupan dunia, sosial, politik, budaya,
ekonomi, dan lain sebagainya masih terbentang luas. Semua ini tercakup dalam
bahasa agama Islam muamalah yang merupakan tugas kemanusiaan bersama, yaitu
khalifah di muka bumi.
Wallahu
a’lam.
Cigugur, 24 Djuqaidah 1425H
6 Januari 2005
Disampaikan Pada Acara:
“Membangun Kerukunan
Hidup Antar Umat Beragama Dalam Persaudaraan Sejati”
Kamis 6 Januari 2005,
Di Gedung Pertemuan Paroki Kristus Raja Cigugur
No comments:
Post a Comment