Wednesday, May 6, 2020

MENCARI MODEL BARU


 

Wabah Covid-19 memang sudah menjungkirbalikan institusi yang selama ini mapan. Termasuk institusi pendidikan. Sifat virus yang membuat interaksi manusia menjadi terbatas menjadikan interaksi dalam pendidikan berubah.

Lembaga bimbingan belajar online mengambil alih peran guru di ruang kelas. Orang tua kembali mengambil peran. Setidaknya menjadi partner guru. Mendampingi anak mengerjakan tugas berbasis kurikulum. 

Masalahnya,  kapan waktu berakhir wabah ini tidak jelas. Ada ahli memperkirakan sampai akhir tahun 2022. Pada intinya sampai anti-virus dan obat ditemukan. 

Kalaupun ketika vaksin ditemukan, lantas bagaimana ia bisa menjangkau 5 miliar penduduk bumi? tentu memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit

Situasi seperti ini jika terus berlanjut akan menimbukan tarik ulur.

Karena itu ketika bicara pendidikan anak-anak kita, apa yang akan terjadi? apakah akan terus seperti sekarang? Serba canggung? Serba darurat?

Lalu bagaimana dengan kelas yang lama ditinggal kosong? 
Bagaimana dengan peran guru yang tidak lagi berjalan sebagaimana biasanya?
Walaupun bisa dengan daring, tetapi pertemuan dengan guru secara fisik tidak bisa tergantikan seluruhnya oleh pertemuan daring.

Sebagian orang memilih menunggu hingga situasi normal kembali. Tapi bagi saya justru ini situasi yang tepat untuk coba mencari formula baru pendidikan.

Beberapa pihak menyodorkan solusi homeschooling. Karena praktis semua keluarga yang menerapkan phisical distancing menerapkan homeschooling.

Tetapi ada juga yang memandang ini adalah momentum untuk membuat prototipe yang lebih genuine pendidikan masa depan. Pendidikan yang ramah lingkungan, berbasis fitrah, berbasis keluarga, membangun kedaulatan keluarga, membangun karakter.

Pertanyaannya : Dari mana memulainya?

Memulai itu seringkali berupa respon terhadap masalah yang dihadapi. Misalnya ketika ditantang wabah Corona sekarang.  Gambaran prediksi ekonomi yang menghawatirkan memunculkan tatangan bagaimana  menciptakan kemandirian pangan.

Misalnya  urban farming yang dipilih. Ya sudah, bisa memulai dari sini. Bila sebelumnya sekedar hobi atau musiman lalu hilang lagi ketika situasi normal. Maka ini harus berbeda. 

Pertanyaannya: Bagaimana agar program ini bisa berkelanjutan? Siapa yang akan mengawalnya?

Di sinilah titik temunya. Anak-anak kitalah yang akan mengelolanya sebagai program sekolahnya. Lalu mengembangkannya. Lalu menularkannya hingga menjadi sebuah gerakan sosial. 

Dari sini diharapkan muncul kultur baru yang hijau ramah lingkungan, memandirikan ekonomi keluarga, menjadi benteng sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.

Memang selalu ada tantangan. Di hadapan anak-anak kita ada alternatif lain yang lebih menarik atau lebih bergengsi. Daripada berkotor-kotor dengan tanah, mereka pasti lebih asyik mengikuti jejak  para youtuber kaya raya di usia muda hanya dengan membuat konten yang isinya hahaha hihihi. 

Tapi, dengan dialog. Saya yakin anak-anak kita akan mengerti. Anak saya contohnya.





No comments:

Post a Comment

KELUARGA : DARI KETAHANAN MENUJU PERADABAN

  Mengapa pembicaraan publik tentang wacana keluarga selalu bernuansa pesimis dan defensif, sehingga istilah yang muncul adalah 'ketahan...