"Apa Pak?"
"Bikin sekolah!"
"Diulangi, Pak?"
"Iya, bikin sekolah!"
Sosok langsing ini memang suka membikin saya penasaran. Karena ia tak pernah becanda yang tak jelas.
"Nggak salah nih?"
"Serius, Pak"
"Seperti apa konsepnya?"
Lalu mengalirlah dari mulutnya konsep tentang membangun kemandirian finansial atau kewirausahaan.
Jiwa enterpreneur membuatnya meyakinkan kalau bicara bisnis. Point pentingnya, uang yang dikeluarkan oleh orang tua nanti sifatnya bukan lagi biaya sekolah. Tapi sebuah investasi. Bisa balik modal dan untung.
Saya yang suka menelusuri sebuah gagasan hingga ke dasar teorinya, langsung tertarik. Apalagi ini dekat dengan konsep pendidikan aqil baligh.
Saya coba kaitkan dengan dalil dan siroh, yang saya pelajari di tema parenting yang saya tekuni. Ternyata saling menguatkan.
Kemudian konsep enterpreneurship yang ditawarkan adalah Integrated Farming. Dengan kambing dan domba sebagai project model-nya. Jenis aktivitasnya sendiri ada tiga : breeding, fattening dan milking. Project ini nanti terintegrasi dengan pengelolaan sampah lingkungan, ternak ikan dan unggas.
Teori ini ternyata sejalan dengan data historis, bahwa para nabi adalah penggembala. Para nabi rupanya disiapkan dulu dengan jadi gembala. Sebagai sekolah kepemimpinan. Sebelum memimpin ummat. Dalam konteks ekonomi, bisnis berbasis kambing termasuk yang sustain.
Walaupun saya suka gagasan futuristik, tapi sisi konservatif juga tidak hilang. Misalnya, untuk urusan administrasinya bagaimana?
Biasanya di situlah letak keruwetan sebuah sekolah. Bahkan sebuah konsep yang bagus banyak yang mentah ketika harus memenuhi tuntutan administrasi. Guru jadi lebih banyak mengerjakan laporan ketimbang mengawal proses pendidikan itu sendiri. Tapi, aspek administrasi sendiri tetap diperlukan untuk kerapihan pekerjaan dan akuntabilitas.
Tapi kalau diingat bahwa saat SMA-lah konsep sekolah alam mestinya bisa dibuktikan outputnya : muda dan mandiri. Sedangkan jika dialihkan ke sekolah dengan genre berbeda besar kemungkinan akan mentah lagi. Maka aspek administrasi ini harus disiasati. Bukan menjadi penghalang.
Tinggal, anak saya yang passion-nya di bidang IT, senangnya ngoprek laptop, apa mau ngangon kambing? Mau bermain tanah, cacing, magot, dan pupuk kandang?
Memang jadi tambah lieur. Tapi saya melihat ada secercah cahaya. Di ujung jalannya.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment