
“Aa Dhiyaaa....!
Ukiii...! ayo segera keluar!” teriak saya dari teras rumah. Bersaing dengan
suara hujan yang siang itu deras mengguyur Perumnas Karawang, Ahad kemarin.
“Ada apa, Bi?”
Tanya Dhiya.
“Ayo, kita main hujan-hujanan!”
Seru saya lagi.
“Hujan-hujanan,
Bi? Memang boleh??” tanya Dhiya keheranan. Tumben abinya ngajak hujan-hujanan. Biasanya justru
melarang keluar rumah. Khawatir masuk angin biasanya jadi alasan. Bisa juga
khawatir dengan petir.
“Iya, bareng Abi!
Sekalian ajak Uki ya!” jawab saya.
“Horeeee.... ayo
'Ki, kita main hujan-hujanan sama Abi!” Dhiya dengan girangnya menyambut ajakan
saya dan langsung ngajak adiknya, Uki.
Tak lama, saya
bareng dua bocah itu berlari-lari di depan rumah. Merasakan hunjaman butir-butir
air yang jatuh dari langit. Terasa memukul-mukul ringan di kepala dan sekujur
badan. Terasa benar dingin dan segar. Rasanya lama sekali tidak merasakan
sensasi diguyur hujan tanpa penghalang payung. Badan seakan menyatu dengan
alam. Sensasinya membuat rasa khawatir akan resiko masuk angin jadi terbang entah ke mana. Yang
tersisa tinggal asyiknya.
Karena sudah rata
diplester, menjadikan lapangan kecil depan rumah jadi tempat asyik buat hujan-hujanan.
Setiap hari memang lahan milik warga itu sudah jadi favorit anak-anak bermain.
Juga parkir mobil tetangga dan para tamu dari luar perumnas.
Saat hujan-hujanan
seperti itu jadi ada kesempatan buat teriak-teriak. Nggak perlu ada jaim. Bebas
dan lepas. Inilah kesempatan menjadi dekat dengan anak-anak. Saling siram. Saling
kejar. Setelah puas bermain, akhirnya
sayapun melirik Si Macan yang dari pagi diparkir di luar pagar. Sambil hujan-hujanan
juga, si macan saya cuci sampai bersih. Lumayan, bisa menghemat biaya cuci
steam, he he
Kebersamaan ayah
dan anak adalah salah satu isu yang sering mengemuka dalam setiap diskusi
parenting. Terutama karena semakin seringnya terdengar kenakalan anak dan
remaja. Di manakah peran ayah dalam kasus ini? Cukupkah dengan sudah menanggung
biaya hidup mereka?
Salah satu isu
hangatnya adalah gejala Father Hunger, alias “lapar Ayah” di mana anak tidak
merasakan kehadiran ayah di dalam jiwanya. Sepi dan terasa jauh. Banyak riset membuktikan keterkaitan erat
antara peran ayah dan perilaku anak laki-lakinya di kemudian hari. Tidak heran
bila psikolog terkenal John Gottman mengingatkan kita bahwa anak-anak, yang
ayahnya tidak terlibat dalam kehidupan mereka, akan menghadapi kesulitan yang
lebih besar untuk menemukan keseimbangan antara ketegasan laki-laki dan pengendalian
diri. Mereka mengalami kesulitan mempelajari pengelolaan emosi, penundaan
keinginan, dan keterampilan-keterampilan hidup lain yang dibutuhkan anak
laki-laki untuk mencapai persahabatan yang erat, kesuksesan akademik, dan
pencapaian karirnya. Dampak-dampak negatif itulah yang sangat mungkin dialami
oleh anak laki-laki yang ''lapar'' akan figur ayah. Demikian yang sempat saya baca dari situsnya mizanpublishing.
Sebagai ayah dari
lima anak, tentu isu di atas menjadi bahan renungan. Menjadi kekhawatiran.
Takut tidak bisa jalankan amanah. Sudah terbayang pertanggungjawabannya kelak
di hadapan Sang Khalik. Maka saat ingat hal itu, munculah pencarian gagasan di
kepala. Kira-kira apa ya,yang bisa diperbuat agar bisa dekat dengan anak-anak?
Kebetulan, bertemulah dengan tips main hujan-hujanan bareng anak-anak di atas.
Sebenarnya ini
juga bukan ide asli sendiri. Tapi pernah dengar dari Nyonya Permaisuri. Katanya
ada anjuran agar para ayah coba main hujan-hujanan bareng anak. Tapi lupa siapa
yang menganjurkan. Katanya, sensasinya tak terlupakan seumur hidup bagi si anak. Nah,
kenapa tidak dicoba, bukan?
Efek masa
depan memang belum terlihat. Tapi besoknya, si Dhiya dan Uki bolak balik minta
main hunjan-hujanan lagi.
Allahumma shayyiban-naafi’an.
Semoga hujan ini membawa manfaat. Itulah do’a yang Rasulullah ajarkan. Selain
buat kebaikan alam, semoga baik juga buat kita. Salah satunya mendekatkan kita
dengan anak-anak.
Karawang, 21 Nopember 2012
wah siap untuk dipraktekkan nih ke Nayla anak saya ^_^
ReplyDeletesilakan Kang!
DeleteSelamat menikmati sensasinya ^_^