Bila kita jeli, di
sekitar kita akan banyak ditemukan orang-orang yang menakjubkan dalam bertahan
hidup. Orang-orang yang berdaya tahan luar biasa. Berdaya juang hebat. Mandiri.
Walau tidak terlihat dan terpinggirkan. Bahkan disepelekan dan tak dihiraukan.
Mereka memang bukan tokoh atau selebritis. Tersembunyi di balik hiruk pikuk. Di
balik ukuran kemuliaan versi manusia. Hingga nyaris mereka tenggelam. Ada dan tidak adanya tidak diperhitungkan.
Namun, Allah
memang sudah punya ukuran yang ajeg. Juga adil dan tidak main-main. Itu cerminan
Ar-Rahman. Maka bagi siapa saja yang memakai kacamata Kasih Sayang-Nya, maka
kemuliaan dibalik debu itu akan tersingkap. Berubah jadi decak kekaguman. Jadi ibroh
bagi siapa saya yang mau mengambil pelajaran. Jadi cermin bagi siapa saja yang
mau bermuhasabah. Terutama tentang syukur dan sabar.
Diantara mereka
itu bahkan orang yang tak jauh dari kita. Kerabat kita. Bisa jadi karena jarang
silaturahim dan enggan memasang radar kepedulian, kita jadi tidak begitu faham. Beberapa diantara mereka itu saya temui saat mudik edisi akhir tahun 2012. Saat acara kumpul-keluarga waktu walimahan pernikahan adik-nyonya.
Pertama, Mbah
Maron. Ia berusia sekitar 70 tahun. Mantan
kepala desa era Suharto tahun 90-an. Ia tinggal di sebuah rumah di pelosok Desa
Maron Kidul, Kecamatan Maron, Kabupaten Probolinggo. Perjalanan dari jalan raya
jalur Pantura bisa ditempuh dua puluh menit naik mobil atau motor. Tempatnya tinggalnya
di pinggir jalan tapi tidak dilewati angkot.
Usia segitu
biasanya akan jadi tanggungan anak-anaknya. Sudah tak mampu mencari nafkah.
Tapi, Mbah Maron ini lain. Siapa sangka kalau penghasilan bersih setiap harinya
minimal 300 ribu. Penghasilan sebulan bisa mengalahkan pegawai baru di
Kementerian Keuangan yang sudah remunerasi. Dan itu dari hasil tangannya
sendiri. Ya, keahlian memijatnya ternyata diterima masyarakat. Setiap hari,
kebanyakan pagi dan sore, antri mereka yang ingin merasakan pijatan si Abah
memenuhi teras rumah. Kebanyakan anak bayi dan balita. Sebelum pulang balik ke
Karawang, saya sempat merasakan nikmatnya dipijat Si Mbah. Entah karena sugesti
atau memang efek pijatan, alhamdulillah perjalanan pulang ke Karawang bisa
dilalui tanpa hambatan apapun. Badan fit hingga finish. Bahkan tanpa kopi,
tanpa minuman energi.
Kedua, Mbak Endang. Ia janda yang ditinggal
wafat suaminya tiga tahun lalu. Meninggalnya tanpa didahului sakit parah atau
kecelakaan. Ia ditinggal pergi tanpa keahilan dan tanpa pekerjaan. Namun,
musibah berat ini berhasil merubah Si Zero jadi Sang Hero. Dimulai saat ia
bekerja di perusahaan catering. Semangat belajarnya membuat ia menjadi mahir
membuat aneka resep makanan. Kini ia
manjadi chef andalan perusahaan itu. Punya keahlian yang sukses mengentaskan
hidupnya dari keterpurukan. Kini ia bisa tegak menatap masa depannya.
Ketiga, Mbah
Yang. Ia nenek 8o tahunan. Bisa bertahan hidup dengan tangan sendiri. Ia juga hidup
seorang diri di rumah bambunya. Keahliannya
sama dengan Abah Maron, memijat. Namun karena tenaganya sudah jauh berkurang, “omzet”
dari memijatnya hanya cukup untuk membiaya hidupnya sendiri. Biasanya saya
meminta Mbah Yang ini memijat kalau lagi pulang ke PMI (pondok Mertua Indah :) ). Namun melihat usia yang sudah sepuh dan lemah,
saya jadi tak tega. Jadinya, saya ganti upah memijatnya dengan dengan oleh-oleh.
Keempat, ada lagi
seorang Mbah Perempuan yang saya lupa namanya. Ia juga sudah sepuh, 65
tahunan. Ia SAudara Mbah Yang di atas. Ia bisa bertahan hidup dengan mencari daun pisang dan menjualnya di
pasar. Daun pisangnya bukan dari pohon milik sendiri. Tapi minta keridhoan dari
tetangga-tetangganya yang punya pohon pisang. Begitulah ia tiap hari bertahan hidup.
Alam pedesaan memang membuat mereka relatif panjang umur, karena makanan untuk konsumsi serba alami. Juga gerak fisik. Namun, keadaan ekonomi dan serba keterbatasan, membuat masa juang mereka untuk bertahan menjadi relatif lebih panjang juga. Menyisakan PR bagi yang mampu. Kelak dari merekalah muncul aneka pertanggungjawaban bagi Si Mampu :
Mana zakatmu?
Mana kepedulianmu?
Bukankah kamu muslim?
Alam pedesaan memang membuat mereka relatif panjang umur, karena makanan untuk konsumsi serba alami. Juga gerak fisik. Namun, keadaan ekonomi dan serba keterbatasan, membuat masa juang mereka untuk bertahan menjadi relatif lebih panjang juga. Menyisakan PR bagi yang mampu. Kelak dari merekalah muncul aneka pertanggungjawaban bagi Si Mampu :
Mana zakatmu?
Mana kepedulianmu?
Bukankah kamu muslim?
No comments:
Post a Comment