Kios bunga (sumber: internet) |
Sekarang bagaimana agar proyek urban farming bisa berkelanjutan?
Pertanyaan super penting ini pasti muncul. Mengingat penyakit kita yang suka "hangat-hangat tahi ayam", yang bagai kembang api di malam lebaran itu. Atau bagai kilat di tengah mendung itu. Hanya sejenak menggelegar lalu hilang. Paling banter cuma jadi fenomena musiman. Semisal tren semusim bunga "gelombang cinta" atau bunga pucuk merah itu. Lalu melempem dan biasa lagi.
Sayang sekali project urban farming kalau juga mengikuti pola di atas. Maka, hemat saya jangan biarkan project ini melenggang sendirian. Menjomblo tanpa bergandeng tangan. Bisa nelangsa nasibnya.
Artinya proyek ini harus kita integrasikan dengan tema lain. Bisa bisnis. Bisa pendidikan. Bisa juga diadopsi jadi program pemerintah. Bisa juga jadi program CSR.
Contoh saja yang sukses dengan diintegrasikan dengan bisnis. Lihatlah lapak-lapak bunga di pinggir-pinggir jalan. Ini sebenarnya project taman kota yang ditempelkan ke bisnis jualan bunga.
Satu yang saya ingat betul, waktu dalam perjalanan ke Lembang. Di sepanjang jalan banyak kios penjual bunga. Deretan kios dengan bunga-bunga indah menjadikan sepanjang jalan praktis jadi taman terbuka yang indah nian dipandang.
Saya jumpai juga saat dalam perjalanan menuju taman hutan raya Cibodas di Cianjur. Juga di jalan Pantura antara Tanjungpura Karawang dan By Pass jelang pusat kota. Dapat dilihat juga di jalan raya Kopo, dari pertigaan gerbang tol Cikampek arah Purwakarta sebelum Sate Maranggi Cibungur itu. Rerimbunan pohon dan warna-warni bunga begitu indahnya.
Dinas Pertamanan setempat bisa tak perlu keluarkan anggaran pemeliharaan. Cukup beri izin saja. Bahkan kalau saya jadi bupati, pasti akan saya modalin. Karena dua agenda pemerintah bisa jalan. Program berbasis kelestarian lingkungan dan ekonomi bisa tuna dengan sekali mendayung.
Di sini saya akan coba mengintegrasikan project urban farming ini dengan pendidikan dan bisnis sekaligus!
Pertama, setiap siswa SMP dan SMA diwajibkan punya project ini di rumah masing-masing. Sebagai pembelajaran tematik. Lalu capaian aspek afektif, kognitif dan psikomotorik dari menjalankan project ini dijadikan nilai raport. Baik portofolio, narasi maupun angka.
Bahkan di Sekolah Alam mestinya ini bisa jadi kurikulum wajib personal di rumah semua siswa. Agar karakter anak yang bersahabat dengan alam terbawa dan terbukti di rumah dan lingkungan.
Untuk level SMA bahkan harus sudah bisa menghasilkan uang. Menjadikan urban farming sebagai lahan bisnis. Agar uang yang dikeluarkan orang tua tidak lagi sebagai biaya an sich. Tapi sebagai investasi. Harus menghasilkan keuntungan. Hasilnya untuk menabung buat biaya kuliah kelak.
Sudah waktunya anak kita yang SMA berfikir mandiri. Bisa menghasilkan uang dari tangan, keringat atau bisnis sendiri. Keterusan dibiayai sampai kuliah telah menjadikan anak-anak kita semakin terlambat mandiri.
Misalnya ada yang menyarankan anak kita yang level SMA berbisnis penggemukan kambing untuk suplai kebutuhan qurban dan aqiqah. Hasilnya cukup menjanjikan. Penggemukan kambing sendiri adalah salah satu pilihan dari program urban farming. Selainnya adalah pembuatan susu segar siap minum dan susu kambing bubuk, pupuk organik, biogas, budidaya ikan tawar dinkoam terpal, budidaya magot atau cacing, teknik hidroponik, hidroganik, vertikal garden dll.
Jadi, urban farming memang bisa dijadikan pengalaman bisnis pertama anak-anak kita.
Kedua, biaya pembuatan urban farming masuk ke biaya kegiatan yang dicatat dan dikelola sekolah. Agar jelas hitung-hitungannya sebagai bagian dari biaya pendidikan.
Ketiga, pendampingan dilakukan oleh orang tua, guru, fasilitator dan expert. Benar-benar menerapkan prinsip, bahwa "it take a village to raise a child". Bahwa butuh orang sekampung untuk mendidik seorang anak. Bahwa butuh satu ton pendidikan untuk satu kilo karakter.
Nah, semakin menarik bukan? Bahwa project urban farming yang diawali dari ternak lele dalam ember bisa dikembangkan jadi gerakan pendidikan dan pemberdayaan ekonomi.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment